Senin, 15 November 2010
Hotel In Istanbul Being Built Underwater
Hotel In Istanbul Being Built Underwater
Meskipun tidak hotel bawah air pertama, salah satu yang sedang dibangun di Istanbul tidak menjanjikan beberapa pandangan dipertanyakan. Hotel tujuh cerita sedang dibangun di Istanbul Bosporus Straight, dimana visibilitas bawah air diduga hanya 10 meter. Jadi Anda bisa lupa tentang tampilan seperti yang satu dalam gambar! Anda tidak akan dapat melihat kotoran. Yah, kecuali cabul dengan kamera bawah air memotret dari Anda. Dan ya, saya setuju, kedengarannya hampir terlalu romantis.
HOTEL LAROSETTA
HOTEL LAROSETTA
Its lokasi istimewa di jantung Perugia membuat Hotel La Rosetta dasar yang ideal untuk menemukan sudut tersembunyi sebuah kota yang telah disesuaikan dengan kebutuhan manusia selama berabad-abad. Tempat wisata utama dari Perugia, seperti Fontana Maggiore, Palazzo dei Priori (dengan dell'Umbria Galleria Nazionale di lantai dua), katedral dan Rocca kuno Paolina semua singkat berjalan kaki, hanya 100 meter.
Dasar yang ideal untuk semua jenis perjalanan, Hotel La Rosetta menawarkan 90 kamar yang dilengkapi dengan semua kenyamanan modern. Kamar-kamar lantai utama baru-baru ini direnovasi dalam gaya abad ke-18, sedangkan tahun 1920 telah menjadi inspirasi bagi kamar di lantai atas. Tapi apa yang bisa menjadi titik kedatangan yang lebih baik daripada ruang pertemuan di hotel atau restoran yang terkenal dengan layanan luar ruangan menyediakan pilihan luas Umbria dan anggur Italia.
Jumat, 05 November 2010
Gambaran Surga dan Arsitektur Bumi
Gambaran Surga dan Arsitektur Bumi
Di dalam dunia arsitektur penulis mendapati sebuah pandangan yang keliru ketika menempatkan gambaran tentang surga sebagai inspirasi fisik arsitektur yang ideal di muka bumi. Sebenarnya, tidak ada yang salah ketika kita mengagumi keindahan rumah di surga yang digambarkan di dalam al-Qur’an dan terinspirasi olehnya. Namun, gambaran tentang keindahan surga di dalam al-Qur’an ini sesungguhnya bukanlah ditujukan agar manusia membangun tempat yang ‘serupa’ di muka bumi. Spahic Omer (2009a: 14), menjelaskan bahwa kenikmatan tiada tara di surga berada di luar jangkauan kognitif manusia di dunia. Kesamaan jenis kenikmatan pada keduanya tidak lebih dari kesamaan dalam nama atau penyebutan semata. Selain dikarenakan ketidakmungkinan untuk menyamai keindahan surga, gambaran akan keindahan rumah di surga sesungguhnya lebih ditujukan agar manusia berlomba-lomba berbuat amal kebaikan yang dapat mengantarkannya ke surga.
Sementara itu, menjadikan gambaran fisik surga sebagai konsep rumah tinggal kita di dunia bisa jadi malah akan membawa kita pada hal-hal yang sebenarnya belum diperbolehkan di dunia. Telah kita ketahui bahwa di surga, Allah swt menyediakan segala hal-hal yang diinginkan oleh hati dan sedap dipandang mata. Sebagian dari kenikmatan itu belum diperbolehkan ketika manusia masih berada di bumi, seperti kemewahan, peralatan makan dari emas dan perak, pakaian sutra bagi laki-laki, dan permadani sutra. Hal ini dapat kita ketahui dari hadits Nabi Muhammad saw yang berbunyi, “…Janganlah kamu berpakaian sutra (dalam satu riwayat, ”Nabi melarang kami… dan melarang mengenakan pakaian sutra atau duduk di atas permadani sutra), minum dengan bejana emas dan perak, serta makan dengan piring emas dan perak, karena semua itu untuk orang-orang kafir di dunia dan untuk kita di akhirat.” (HR. Bukhari). Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa segala kemewahan itu diwariskan kepada para penghuni surga disebabkan amal-amal mereka di dunia, “Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya. Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 71-72).
Terlebih lagi jika gambaran tentang surga ini diwujudkan hanya dalam bentuk-bentuk yang simbolis, tanpa memperhitungkan nilai-nilai substantifnya. Kemewahan dalam membangun masjid, misalnya, seringkali disandarkan pada alasan bahwa keindahan masjid merupakan gambaran dari keindahan surga. Manusia yang melihat dan memasukinya diharapkan mengagumi keindahannya dan teringat akan surga. Walaupun demikian, harapan semacam ini seringkali tidak terwujud dengan baik. Hal ini dikarenakan, tidak semua orang mengasosiasikan keindahan masjid itu dengan keindahan surga. Sebagian orang bisa jadi malah akan menganggapnya sebagai legitimasi akan diperbolehkannya kemegahan dan kemewahan duniawi di dalam Islam.
Tanpa pertimbangan yang matang akan segi kemanfaatan dari setiap bentukan fisiknya, keindahan masjid dan rumah hanya akan mengarahkan manusia untuk bertindak berlebih-lebihan dengan menghiasi masjid dan rumah itu dengan segala kemewahan. Luas dan besarnya bangunan masjid, misalnya, akan memiliki kemanfaatan jika memang ditujukan untuk menampung banyaknya jamaah. Sebaliknya, jika luas dan besaran masjid ini dirancang demikian monumental hanya untuk menyimbolkan kebesaran Islam, tentu hal ini menjadi tidak relevan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri yang mengutamakan kesederhanaan dalam segala hal. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad saw bersabda, “Aku tidak menyuruh kamu membangun masjid untuk kemewahan sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani.” (HR. Ibnu Hibban dan Abu Dawud). Begitu pula dengan rumah atau hunian kita. Rumah yang besar dan luas tentu akan sangat bermanfaat apabila di dalamnya kita menampung banyak anggota keluarga atau anak yatim piatu yang membutuhkan. Sebaliknya, rumah yang besar itu malah akan bertentangan dengan nilai-nilai Islam jika ia digunakan sebagai simbol untuk membangga-banggakan diri dan bermegah-megahan.
Spahic Omer dalam tulisannya, ‘The Pragmatism and Functionality of Islamic Architecture’, memaparkan bahwa arsitektur Islam menolak simbolisme yang buta dan literal. “…literal symbolism as practiced in some other cultures has no place in Islamic architecture. Introducing literal symbolism in Islamic architecture would be a serious harmful innovation and an architectural deviation” (Omer, 2009b: 216). Simbolisme merupakan sesuatu yang asing dan diadopsi dari kebudayaan dan aliran arsitektur lain, seperti arsitektur klasik Eropa. Bentuk-bentuk arsitektural dari kebudayaan lain biasanya diadaptasi ke dalam arsitektur Islam dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting dan mendalam daripada sekedar pertimbangan simbolisme semata. Lois Lamya al-Faruqi juga menyatakan hal serupa, “In Islamic architecture, the parts of the mosque, madrasah or dwelling are consistently functional rather than symbolically significant accretions.” (al-Faruqi dalam Omer, 2009b: 216). Dengan demikian, simbolisasi bentuk-bentuk fisik arsitektur berdasarkan gambaran keindahan surga ini bukanlah tidak diperbolehkan sama sekali, namun sebaiknya tetap sejalan dan berada di dalam koridor nilai-nilai Islam, seperti ketauhidan, kemanfaatan, kesederhanaan, kebersihan, kedekatan dengan alam dan masyarakat, dan sebagainya.
Lebih jauh, terdapat pula kekeliruan ketika menyamakan keindahan dengan kemewahan semata. Kemewahan yang dijanjikan Allah swt di surga tidaklah dapat disamakan dengan kemewahan yang kita pahami di dunia. Sebaliknya, selama hidup di dunia kita bahkan tidak pernah dianjurkan untuk hidup mewah. Kita justru diperingatkan bahwa kemewahan dan kemegahan dapat melalaikan kita, sehingga terjerumus ke dalam neraka. Hal ini terdapat dalam surat at-Takaatsur [102]: 1, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.”. Ibnu Katsir menerangkan makna ayat ini, “Kalian terlalu disibukkan oleh kecintaan pada dunia, kenikmatan dan berbagai perhiasannya, sehingga lupa untuk mencari dan mengejar kehidupan akhirat. Hal tersebut terus menimpa kalian sehingga kematian menjemput kalian, lalu kalian mendatangi kuburan dan menjadi salah satu penghuninya.” (Bin Ishaq Alu Syaikh, 2008: 531).
Dalam pandangan Islam, keindahan harus senantiasa berada di dalam koridor kebenaran dan kebaikan. Tanpa keduanya, keindahan yang seringkali tampak pada tataran fisik bukanlah keindahan yang sesungguhnya. Hanya jika sesuatu itu benar dan baik, maka ia menjadi indah. Indah karena benar, indah karena baik. Pelajaran tentang keindahan yang sejalan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan ini sebenarnya dapat kita peroleh dari setiap ciptaan Allah swt, baik makhluk hidup, benda mati, maupun alam semesta. Keindahan yang tampak pada setiap makhluk Allah swt. adalah keindahan yang menyatu dengan kemanfaatan. Tidak ada yang sia-sia di dalam setiap aspek penciptaan, termasuk aspek bentuk fisiknya. Setiap makhluk memiliki keindahan sekaligus kemanfaatan, baik di dalam setiap bagiannya maupun secara keseluruhannya. Sayap kupu-kupu, gigi berang-berang, kelopak bunga, gurun-gurun pasir, hutan belantara, dan sebagainya, selalu menampakkan keindahan yang sejalan dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dalam perancangannya. Alam semesta dalam segala aspeknya senantiasa mengandung keindahan, sekaligus kebenaran dan kebaikan. Karenanya, setiap hasil karya manusia –termasuk arsitektur– yang selaras dengan alam semesta itu pun akan mengandung keindahan yang tidak hanya terlihat dari bentuk fisiknya, namun juga dari kemanfaatan terhadap lingkungannya.
Dari gambaran akan keindahan surga di dalam al-Qur’an, kita sebenarnya juga dapat mengambil pelajaran akan nilai-nilai substantif tentang keindahan. Salah satu hikmah dari gambaran fisik rumah di syurga adalah keindahan yang timbul dari rumah yang dekat dan menyatu dengan alam. Kita juga dapat mengambil pelajaran tentang kemanfaatan yang dikandung oleh setiap keindahan yang ada di alam, seperti telah dijelaskan di atas. Pelajaran-pelajaran ini dapat kita peroleh dari gambaran tentang keindahan surga di dalam al-Qur’an yang seringkali diiringi dengan penyebutan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya, juga pohon-pohon yang senantiasa menaungi dan memberikan buahnya. Karenanya, hikmah yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari dari gambaran keindahan surga di atas, di antaranya adalah kehidupan yang dekat dengan alam, memelihara keberlangsungan alam, dan menjadikan alam sebagai sarana tadabbur akan kekuasaan dan kebesaran Allah swt. Dengan demikian, kegiatan berarsitektur dan berhuni tidak akan terlepas dari pelajaran akan keindahan alam ini. Setiap karya cipta manusia yang selaras dengan alam akan mengandung pula sifat-sifat keindahan yang dikandung oleh alam, yaitu indah karena benar dan indah karena baik. Allahu a’lamu bish shawab.
Daftar Referensi
Bin Ishaq Alu Syaikh, ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman. 2008. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8. Cetakan Kelima. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Omer, Spahic. 2009a. The Holy Qur’an on Housing, diunduh dari e-mail yuliaeka_p@yahoo.com dari spahico@yahoo.com pada tanggal 30 Maret 2009.
Omer, Spahic. 2009b. The Pragmatism and Functionality of Islamic Architecture, diunduh dari e-mail yuliaeka_p@yahoo.com dari spahico@yahoo.com pada tanggal 30 Maret 2009.
Di dalam dunia arsitektur penulis mendapati sebuah pandangan yang keliru ketika menempatkan gambaran tentang surga sebagai inspirasi fisik arsitektur yang ideal di muka bumi. Sebenarnya, tidak ada yang salah ketika kita mengagumi keindahan rumah di surga yang digambarkan di dalam al-Qur’an dan terinspirasi olehnya. Namun, gambaran tentang keindahan surga di dalam al-Qur’an ini sesungguhnya bukanlah ditujukan agar manusia membangun tempat yang ‘serupa’ di muka bumi. Spahic Omer (2009a: 14), menjelaskan bahwa kenikmatan tiada tara di surga berada di luar jangkauan kognitif manusia di dunia. Kesamaan jenis kenikmatan pada keduanya tidak lebih dari kesamaan dalam nama atau penyebutan semata. Selain dikarenakan ketidakmungkinan untuk menyamai keindahan surga, gambaran akan keindahan rumah di surga sesungguhnya lebih ditujukan agar manusia berlomba-lomba berbuat amal kebaikan yang dapat mengantarkannya ke surga.
Sementara itu, menjadikan gambaran fisik surga sebagai konsep rumah tinggal kita di dunia bisa jadi malah akan membawa kita pada hal-hal yang sebenarnya belum diperbolehkan di dunia. Telah kita ketahui bahwa di surga, Allah swt menyediakan segala hal-hal yang diinginkan oleh hati dan sedap dipandang mata. Sebagian dari kenikmatan itu belum diperbolehkan ketika manusia masih berada di bumi, seperti kemewahan, peralatan makan dari emas dan perak, pakaian sutra bagi laki-laki, dan permadani sutra. Hal ini dapat kita ketahui dari hadits Nabi Muhammad saw yang berbunyi, “…Janganlah kamu berpakaian sutra (dalam satu riwayat, ”Nabi melarang kami… dan melarang mengenakan pakaian sutra atau duduk di atas permadani sutra), minum dengan bejana emas dan perak, serta makan dengan piring emas dan perak, karena semua itu untuk orang-orang kafir di dunia dan untuk kita di akhirat.” (HR. Bukhari). Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa segala kemewahan itu diwariskan kepada para penghuni surga disebabkan amal-amal mereka di dunia, “Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya. Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 71-72).
Terlebih lagi jika gambaran tentang surga ini diwujudkan hanya dalam bentuk-bentuk yang simbolis, tanpa memperhitungkan nilai-nilai substantifnya. Kemewahan dalam membangun masjid, misalnya, seringkali disandarkan pada alasan bahwa keindahan masjid merupakan gambaran dari keindahan surga. Manusia yang melihat dan memasukinya diharapkan mengagumi keindahannya dan teringat akan surga. Walaupun demikian, harapan semacam ini seringkali tidak terwujud dengan baik. Hal ini dikarenakan, tidak semua orang mengasosiasikan keindahan masjid itu dengan keindahan surga. Sebagian orang bisa jadi malah akan menganggapnya sebagai legitimasi akan diperbolehkannya kemegahan dan kemewahan duniawi di dalam Islam.
Tanpa pertimbangan yang matang akan segi kemanfaatan dari setiap bentukan fisiknya, keindahan masjid dan rumah hanya akan mengarahkan manusia untuk bertindak berlebih-lebihan dengan menghiasi masjid dan rumah itu dengan segala kemewahan. Luas dan besarnya bangunan masjid, misalnya, akan memiliki kemanfaatan jika memang ditujukan untuk menampung banyaknya jamaah. Sebaliknya, jika luas dan besaran masjid ini dirancang demikian monumental hanya untuk menyimbolkan kebesaran Islam, tentu hal ini menjadi tidak relevan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri yang mengutamakan kesederhanaan dalam segala hal. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad saw bersabda, “Aku tidak menyuruh kamu membangun masjid untuk kemewahan sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani.” (HR. Ibnu Hibban dan Abu Dawud). Begitu pula dengan rumah atau hunian kita. Rumah yang besar dan luas tentu akan sangat bermanfaat apabila di dalamnya kita menampung banyak anggota keluarga atau anak yatim piatu yang membutuhkan. Sebaliknya, rumah yang besar itu malah akan bertentangan dengan nilai-nilai Islam jika ia digunakan sebagai simbol untuk membangga-banggakan diri dan bermegah-megahan.
Spahic Omer dalam tulisannya, ‘The Pragmatism and Functionality of Islamic Architecture’, memaparkan bahwa arsitektur Islam menolak simbolisme yang buta dan literal. “…literal symbolism as practiced in some other cultures has no place in Islamic architecture. Introducing literal symbolism in Islamic architecture would be a serious harmful innovation and an architectural deviation” (Omer, 2009b: 216). Simbolisme merupakan sesuatu yang asing dan diadopsi dari kebudayaan dan aliran arsitektur lain, seperti arsitektur klasik Eropa. Bentuk-bentuk arsitektural dari kebudayaan lain biasanya diadaptasi ke dalam arsitektur Islam dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting dan mendalam daripada sekedar pertimbangan simbolisme semata. Lois Lamya al-Faruqi juga menyatakan hal serupa, “In Islamic architecture, the parts of the mosque, madrasah or dwelling are consistently functional rather than symbolically significant accretions.” (al-Faruqi dalam Omer, 2009b: 216). Dengan demikian, simbolisasi bentuk-bentuk fisik arsitektur berdasarkan gambaran keindahan surga ini bukanlah tidak diperbolehkan sama sekali, namun sebaiknya tetap sejalan dan berada di dalam koridor nilai-nilai Islam, seperti ketauhidan, kemanfaatan, kesederhanaan, kebersihan, kedekatan dengan alam dan masyarakat, dan sebagainya.
Lebih jauh, terdapat pula kekeliruan ketika menyamakan keindahan dengan kemewahan semata. Kemewahan yang dijanjikan Allah swt di surga tidaklah dapat disamakan dengan kemewahan yang kita pahami di dunia. Sebaliknya, selama hidup di dunia kita bahkan tidak pernah dianjurkan untuk hidup mewah. Kita justru diperingatkan bahwa kemewahan dan kemegahan dapat melalaikan kita, sehingga terjerumus ke dalam neraka. Hal ini terdapat dalam surat at-Takaatsur [102]: 1, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.”. Ibnu Katsir menerangkan makna ayat ini, “Kalian terlalu disibukkan oleh kecintaan pada dunia, kenikmatan dan berbagai perhiasannya, sehingga lupa untuk mencari dan mengejar kehidupan akhirat. Hal tersebut terus menimpa kalian sehingga kematian menjemput kalian, lalu kalian mendatangi kuburan dan menjadi salah satu penghuninya.” (Bin Ishaq Alu Syaikh, 2008: 531).
Dalam pandangan Islam, keindahan harus senantiasa berada di dalam koridor kebenaran dan kebaikan. Tanpa keduanya, keindahan yang seringkali tampak pada tataran fisik bukanlah keindahan yang sesungguhnya. Hanya jika sesuatu itu benar dan baik, maka ia menjadi indah. Indah karena benar, indah karena baik. Pelajaran tentang keindahan yang sejalan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan ini sebenarnya dapat kita peroleh dari setiap ciptaan Allah swt, baik makhluk hidup, benda mati, maupun alam semesta. Keindahan yang tampak pada setiap makhluk Allah swt. adalah keindahan yang menyatu dengan kemanfaatan. Tidak ada yang sia-sia di dalam setiap aspek penciptaan, termasuk aspek bentuk fisiknya. Setiap makhluk memiliki keindahan sekaligus kemanfaatan, baik di dalam setiap bagiannya maupun secara keseluruhannya. Sayap kupu-kupu, gigi berang-berang, kelopak bunga, gurun-gurun pasir, hutan belantara, dan sebagainya, selalu menampakkan keindahan yang sejalan dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dalam perancangannya. Alam semesta dalam segala aspeknya senantiasa mengandung keindahan, sekaligus kebenaran dan kebaikan. Karenanya, setiap hasil karya manusia –termasuk arsitektur– yang selaras dengan alam semesta itu pun akan mengandung keindahan yang tidak hanya terlihat dari bentuk fisiknya, namun juga dari kemanfaatan terhadap lingkungannya.
Dari gambaran akan keindahan surga di dalam al-Qur’an, kita sebenarnya juga dapat mengambil pelajaran akan nilai-nilai substantif tentang keindahan. Salah satu hikmah dari gambaran fisik rumah di syurga adalah keindahan yang timbul dari rumah yang dekat dan menyatu dengan alam. Kita juga dapat mengambil pelajaran tentang kemanfaatan yang dikandung oleh setiap keindahan yang ada di alam, seperti telah dijelaskan di atas. Pelajaran-pelajaran ini dapat kita peroleh dari gambaran tentang keindahan surga di dalam al-Qur’an yang seringkali diiringi dengan penyebutan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya, juga pohon-pohon yang senantiasa menaungi dan memberikan buahnya. Karenanya, hikmah yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari dari gambaran keindahan surga di atas, di antaranya adalah kehidupan yang dekat dengan alam, memelihara keberlangsungan alam, dan menjadikan alam sebagai sarana tadabbur akan kekuasaan dan kebesaran Allah swt. Dengan demikian, kegiatan berarsitektur dan berhuni tidak akan terlepas dari pelajaran akan keindahan alam ini. Setiap karya cipta manusia yang selaras dengan alam akan mengandung pula sifat-sifat keindahan yang dikandung oleh alam, yaitu indah karena benar dan indah karena baik. Allahu a’lamu bish shawab.
Daftar Referensi
Bin Ishaq Alu Syaikh, ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman. 2008. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8. Cetakan Kelima. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Omer, Spahic. 2009a. The Holy Qur’an on Housing, diunduh dari e-mail yuliaeka_p@yahoo.com dari spahico@yahoo.com pada tanggal 30 Maret 2009.
Omer, Spahic. 2009b. The Pragmatism and Functionality of Islamic Architecture, diunduh dari e-mail yuliaeka_p@yahoo.com dari spahico@yahoo.com pada tanggal 30 Maret 2009.
Bagaimana Islam Menyikapi Takhayul dalam Proses Berarsitektur (Sebuah Bahan Renungan bagi Masyarakat Muslim)
Bagaimana Islam Menyikapi Takhayul dalam Proses Berarsitektur (Sebuah Bahan Renungan bagi Masyarakat Muslim)
Salah satu prinsip yang sangat penting dalam proses berarsitektur di dalam Islam, adalah meniadakan kepercayaan-kepercayaan yang tidak berdasar dalam setiap proses perencanaan, pembangunan maupun pemanfaatan setiap bangunan. Salah satu jenis bangunan yang seringkali dikaitkan dengan berbagai kepercayaan ini adalah bangunan rumah tinggal. Sayangnya, prinsip dasar yang penting ini seringkali malah dilupakan dan dilanggar sendiri oleh sebagian masyarakat muslim. Karenanya, penulis menujukan tulisan ini bagi masyarakat muslim, termasuk praktisi dan akademisi muslim. Di dalam artikel ini penulis akan berusaha memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan dasar pemikiran dari larangan mendasarkan diri pada kepercayaan yang salah, dan dampak-dampak yang bisa jadi ditimbulkan dari diyakininya kepercayaan-kepercayaan yang tidak ada dasarnya di dalam agama itu oleh masyarakat muslim.
Di dalam al-Qur’an, Allah swt memberikan peringatan akan terlarangnya berpegang kepada kepercayaan-kepercayaan yang tidak berdasar (takhayul) di dalam hunian kita. “…Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. al-Baqarah [2]: 189). Di dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa ayat ini turun disebabkan oleh kebiasaan orang Jahiliyyah yang sepulangnya menunaikan ihram di Baitullah memasuki rumahnya dari pintu belakang. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa pada masa sebelumnya, jika seseorang beri’tikaf, ia tidak memasuki tempat tinggalnya melalui pintu depan (Bin Ishaq Alu Syaikh, 2008a: 363). Terdapat kepercayaan orang-orang Arab di masa Jahiliyah yang masih berlangsung di masa Nabi saw, untuk masuk dari bagian belakang rumah mereka setelah menunaikan ibadah haji. Kepercayaan mereka di masa itu membawa implikasi pada bentukan arsitektur hunian mereka. Selalu terdapat pintu khusus atau semacam lubang di bagian belakang rumah mereka sebagai tempat untuk masuk setelah menunaikan ibadah haji.
Ayat di atas berisi penolakan terhadap segala kepercayaan yang tidak berdasar (takhayul) di dalam kehidupan kita, termasuk dalam kegiatan berhuni. Di dalam ayat ini, Allah swt memperingatkan mereka dan kita semua untuk tidak mendasarkan diri kepada hal-hal semacam itu dan menganggapnya sebagai kebaikan, atau menjadikannya sebagai salah satu jalan untuk meraih kebaikan.
Di masa kini, kepercayaan-kepercayaan yang tidak berdasar ini mengambil bermacam bentuk di dalam hampir sebagian besar proses berhuni kita. Salah satu contohnya adalah kepercayaan yang banyak mengandung doktrin-doktrin tentang berbagai aspek arsitektural sebuah bangunan, yaitu Feng Shui. Feng Shui adalah paham yang menyatakan bahwa hidup manusia dipengaruhi oleh chi, atau energi kosmik yang melingkupi manusia, dengan lima elemen dasar yang dihubungkan dengan warna-warna tertentu sebagai simbolnya. Di negeri asalnya, oleh sebagian besar penganutnya Feng Shui diterapkan pada sebagian besar perancangan arsitektur, mulai dari rumah hingga penataan kota. Selain Feng Shui, sebenarnya masih banyak lagi kepercayaan-kepercayaan yang turut berkembang di masyarakat muslim saat ini.
Pada tataran bentuk fisiknya, bisa jadi kita akan menemukan bahwa sebagian doktrin dari kepercayaan-kepercayaan semacam ini dapat dirasionalisasi, atau memiliki alasan yang cukup rasional. Doktrin tidak diperbolehkannya meletakkan dua pintu berhadapan secara langsung, misalnya, dapat dirasionalisasi sebagai salah satu cara mencegah aliran angin yang terlalu kencang. Walaupun demikian, harus kita sadari bahwa bentuk-bentuk fisik itu hanyalah sebuah konsekuensi dari konsep-konsep yang ada pada tataran pemikiran. Pada tataran pemikiran, penyebab dari munculnya doktrin-doktrin itu adalah kepercayaan bahwa bentuk-bentuk fisik itu dapat mendatangkan rejeki, menghindarkan penghuninya dari penyakit dan kerugian, menghindarkan kemalangan, mencegah persaingan, memanjangkan umur, dan semacamnya. Hal yang harus dicermati adalah, kita tidak dapat menerima begitu saja berbagai aspek pada tataran fisik dari sebuah kepercayaan dengan melepaskan diri sepenuhnya dari tataran pemikiran yang melatarbelakangi kehadiran bentuk fisik itu. Tentu bukan tanpa sebab Nabi Muhammad saw melarang kita mengikuti penampilan dan kebiasaan orang kafir. Beliau saw juga menyatakan, “Barangsiapa menyerupai (meniru) tingkah laku suatu kaum maka dia tergolong dari mereka.” (HR. Abu Dawud). Tingkah laku adalah penampakan fisik yang tampak sebagai konsekuensi dari pola pikir dan cara pandang. Salah satu hikmah hadits ini adalah, adanya kenyataan bahwa setiap peniruan bentuk fisik akan berdampak sedikit demi sedikit pada peniruan cara pikir dan pola pandang yang ada. Untuk itu pula Nabi saw telah bersabda, “Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, “Siapa ‘mereka’ yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Bukhari).
Lebih jauh, sebenarnya terdapat banyak pula aspek yang irrasional (irrasional berbeda dengan suprarasional) dari doktrin-doktrin di dalam kepercayaan-kepercayaan semacam itu, jika dibandingkan jumlahnya dengan aspek-aspek yang rasional atau yang dapat dicerna akal sehat. Jika kita hanya menerima aspek-aspek yang rasional saja dari suatu kepercayaan, maka hal itu tidak dapat kita nisbatkan pada paham atau kepercayaan yang bersangkutan, karena tanpa paham itu pun, ilmu sains bangunan atau ilmu arsitektur yang ada sebenarnya telah cukup untuk dapat menghasilkan sebuah rancangan yang berkualitas dalam tolak ukur rasio. Sebuah paham mengandung aspek pemikiran sekaligus aspek perbuatan (dalam hal ini aspek bentukan fisik) yang tidak terpisahkan. Kita tidak dapat menisbatkan suatu doktrin bentuk fisik kepada paham tertentu, misalnya Feng Shui, jika kita hanya membenarkan bentuk fisik itu tanpa menyetujui alasan kehadiran bentuk fisik yang bersangkutan.
Selain salah satu contoh di atas, masih banyak lagi contoh-contoh kepercayaan atau takhayul lain yang hidup dan berkembang di sekeliling kita. Karenanya, sebagai seorang muslim, adalah lebih baik bagi kita untuk menjaga diri dengan tidak mendasarkan pertimbangan-pertimbangan menyangkut hunian kita pada kepercayaan-kepercayaan yang tidak berdasar atau memiliki dasar yang salah dan tidak sesuai dengan akidah tauhid, baik dalam tataran bentuk fisiknya, maupun dalam tataran pemikirannya. Terlebih lagi jika kita mengadopsi kepercayaan-kepercayaan itu sesuai dengan tujuan yang ada pada tataran pemikirannya, misalnya untuk memudahkan rejeki atau menyembuhkan penyakit. Hal-hal semacam ini berpotensi besar merusak akidah kita dan menjerumuskan diri kita ke dalam kesyirikan. Dampak yang merusak ini seringkali tidak disadari, namun lambat laun menjadi sugesti di dalam diri kita. Kita lalu bergantung kepada hal-hal yang sebenarnya tidak dapat mendatangkan keselamatan, manfaat maupun mudharat kepada diri kita, dan malah melepaskan diri dari ketergantungan kepada Allah semata. Jika demikian adanya, maka sesungguhnya kita tengah menghadapi bencana terbesar dalam kehidupan sebelum dan sesudah kematian kita. Di dalam al-Qur’an, Allah swt telah memperingatkan kita tentang hal ini, “Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. at-Taubah [9]: 109). Di dalam ayat ini terdapat perumpamaan orang-orang yang berpegang kepada selain Allah swt sebagai orang-orang yang mendirikan bangunan di tepi jurang yang runtuh. Pekerjaannya sia-sia, tidak berdasar, bahkan mendapatkan murka Allah swt. Semoga Allah swt menghindarkan kita semua dari kerugian dan kebinasaan semacam ini.
Bagi para arsitek ataupun calon arsitek muslim, sikap yang tepat terhadap hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab kita kepada Allah swt. Jangan pernah menganggap profesionalitas adalah memisahkan profesi dari keyakinan dan agama kita, karena hal itu akan menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang terbelah. Bagi masyarakat non-muslim, adalah wajib bagi kita untuk menghargai dan menghormati kepercayaan yang mereka anut. Namun demikian, bagi masyarakat muslim, adalah tanggung jawab kita untuk ikut serta mendidik mereka (sekali lagi: masyarakat muslim) dan meluruskan pemahaman mereka tentang hal ini. Tentu saja hal ini harus dilakukan dengan cara-cara yang terbaik dan dengan kata-kata yang menyentuh kesadaran, bukannya membuat sebagian masyarakat muslim malah menjadi semakin antipati terhadap ketentuan Allah swt ini. Nabi Muhammad saw telah memperingatkan kita untuk berkata baik atau diam. Karenanya, jika telah mencoba dengan cara-cara terbaik untuk memberikan pemahaman namun tidak juga diperoleh kesadaran, maka ingatlah bahwa kewajiban kita hanyalah menyampaikan, bukan memaksakan. Jalan terbaik setelahnya adalah meninggalkan keadaan itu sebagai bentuk penolakan kita terhadap keyakinan mereka yang keliru, dengan tetap menunjukkan sikap yang baik dan menghargai mereka. Namun begitu, rasa menghargai dan menghormati itu tidaklah harus diwujudkan dengan meniru atau mengikuti keyakinan mereka yang sebenarnya bertentangan dengan koridor yang telah ada di dalam agama. Jangan pernah merasa takut akan kehilangan rejeki yang halal, karena rejeki berasal dari Allah swt. Tidak akan berkurang rejeki kita karena kita meninggalkan pekerjaan yang dilarang Allah swt, dan tidak akan bertambah rejeki kita karena kita melakukan pekerjaan yang dilarang tersebut. Wallahu a’lamu bish shawab, dan Allah-lah pemilik segala pengetahuan…
Salah satu prinsip yang sangat penting dalam proses berarsitektur di dalam Islam, adalah meniadakan kepercayaan-kepercayaan yang tidak berdasar dalam setiap proses perencanaan, pembangunan maupun pemanfaatan setiap bangunan. Salah satu jenis bangunan yang seringkali dikaitkan dengan berbagai kepercayaan ini adalah bangunan rumah tinggal. Sayangnya, prinsip dasar yang penting ini seringkali malah dilupakan dan dilanggar sendiri oleh sebagian masyarakat muslim. Karenanya, penulis menujukan tulisan ini bagi masyarakat muslim, termasuk praktisi dan akademisi muslim. Di dalam artikel ini penulis akan berusaha memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan dasar pemikiran dari larangan mendasarkan diri pada kepercayaan yang salah, dan dampak-dampak yang bisa jadi ditimbulkan dari diyakininya kepercayaan-kepercayaan yang tidak ada dasarnya di dalam agama itu oleh masyarakat muslim.
Di dalam al-Qur’an, Allah swt memberikan peringatan akan terlarangnya berpegang kepada kepercayaan-kepercayaan yang tidak berdasar (takhayul) di dalam hunian kita. “…Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. al-Baqarah [2]: 189). Di dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa ayat ini turun disebabkan oleh kebiasaan orang Jahiliyyah yang sepulangnya menunaikan ihram di Baitullah memasuki rumahnya dari pintu belakang. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa pada masa sebelumnya, jika seseorang beri’tikaf, ia tidak memasuki tempat tinggalnya melalui pintu depan (Bin Ishaq Alu Syaikh, 2008a: 363). Terdapat kepercayaan orang-orang Arab di masa Jahiliyah yang masih berlangsung di masa Nabi saw, untuk masuk dari bagian belakang rumah mereka setelah menunaikan ibadah haji. Kepercayaan mereka di masa itu membawa implikasi pada bentukan arsitektur hunian mereka. Selalu terdapat pintu khusus atau semacam lubang di bagian belakang rumah mereka sebagai tempat untuk masuk setelah menunaikan ibadah haji.
Ayat di atas berisi penolakan terhadap segala kepercayaan yang tidak berdasar (takhayul) di dalam kehidupan kita, termasuk dalam kegiatan berhuni. Di dalam ayat ini, Allah swt memperingatkan mereka dan kita semua untuk tidak mendasarkan diri kepada hal-hal semacam itu dan menganggapnya sebagai kebaikan, atau menjadikannya sebagai salah satu jalan untuk meraih kebaikan.
Di masa kini, kepercayaan-kepercayaan yang tidak berdasar ini mengambil bermacam bentuk di dalam hampir sebagian besar proses berhuni kita. Salah satu contohnya adalah kepercayaan yang banyak mengandung doktrin-doktrin tentang berbagai aspek arsitektural sebuah bangunan, yaitu Feng Shui. Feng Shui adalah paham yang menyatakan bahwa hidup manusia dipengaruhi oleh chi, atau energi kosmik yang melingkupi manusia, dengan lima elemen dasar yang dihubungkan dengan warna-warna tertentu sebagai simbolnya. Di negeri asalnya, oleh sebagian besar penganutnya Feng Shui diterapkan pada sebagian besar perancangan arsitektur, mulai dari rumah hingga penataan kota. Selain Feng Shui, sebenarnya masih banyak lagi kepercayaan-kepercayaan yang turut berkembang di masyarakat muslim saat ini.
Pada tataran bentuk fisiknya, bisa jadi kita akan menemukan bahwa sebagian doktrin dari kepercayaan-kepercayaan semacam ini dapat dirasionalisasi, atau memiliki alasan yang cukup rasional. Doktrin tidak diperbolehkannya meletakkan dua pintu berhadapan secara langsung, misalnya, dapat dirasionalisasi sebagai salah satu cara mencegah aliran angin yang terlalu kencang. Walaupun demikian, harus kita sadari bahwa bentuk-bentuk fisik itu hanyalah sebuah konsekuensi dari konsep-konsep yang ada pada tataran pemikiran. Pada tataran pemikiran, penyebab dari munculnya doktrin-doktrin itu adalah kepercayaan bahwa bentuk-bentuk fisik itu dapat mendatangkan rejeki, menghindarkan penghuninya dari penyakit dan kerugian, menghindarkan kemalangan, mencegah persaingan, memanjangkan umur, dan semacamnya. Hal yang harus dicermati adalah, kita tidak dapat menerima begitu saja berbagai aspek pada tataran fisik dari sebuah kepercayaan dengan melepaskan diri sepenuhnya dari tataran pemikiran yang melatarbelakangi kehadiran bentuk fisik itu. Tentu bukan tanpa sebab Nabi Muhammad saw melarang kita mengikuti penampilan dan kebiasaan orang kafir. Beliau saw juga menyatakan, “Barangsiapa menyerupai (meniru) tingkah laku suatu kaum maka dia tergolong dari mereka.” (HR. Abu Dawud). Tingkah laku adalah penampakan fisik yang tampak sebagai konsekuensi dari pola pikir dan cara pandang. Salah satu hikmah hadits ini adalah, adanya kenyataan bahwa setiap peniruan bentuk fisik akan berdampak sedikit demi sedikit pada peniruan cara pikir dan pola pandang yang ada. Untuk itu pula Nabi saw telah bersabda, “Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, “Siapa ‘mereka’ yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Bukhari).
Lebih jauh, sebenarnya terdapat banyak pula aspek yang irrasional (irrasional berbeda dengan suprarasional) dari doktrin-doktrin di dalam kepercayaan-kepercayaan semacam itu, jika dibandingkan jumlahnya dengan aspek-aspek yang rasional atau yang dapat dicerna akal sehat. Jika kita hanya menerima aspek-aspek yang rasional saja dari suatu kepercayaan, maka hal itu tidak dapat kita nisbatkan pada paham atau kepercayaan yang bersangkutan, karena tanpa paham itu pun, ilmu sains bangunan atau ilmu arsitektur yang ada sebenarnya telah cukup untuk dapat menghasilkan sebuah rancangan yang berkualitas dalam tolak ukur rasio. Sebuah paham mengandung aspek pemikiran sekaligus aspek perbuatan (dalam hal ini aspek bentukan fisik) yang tidak terpisahkan. Kita tidak dapat menisbatkan suatu doktrin bentuk fisik kepada paham tertentu, misalnya Feng Shui, jika kita hanya membenarkan bentuk fisik itu tanpa menyetujui alasan kehadiran bentuk fisik yang bersangkutan.
Selain salah satu contoh di atas, masih banyak lagi contoh-contoh kepercayaan atau takhayul lain yang hidup dan berkembang di sekeliling kita. Karenanya, sebagai seorang muslim, adalah lebih baik bagi kita untuk menjaga diri dengan tidak mendasarkan pertimbangan-pertimbangan menyangkut hunian kita pada kepercayaan-kepercayaan yang tidak berdasar atau memiliki dasar yang salah dan tidak sesuai dengan akidah tauhid, baik dalam tataran bentuk fisiknya, maupun dalam tataran pemikirannya. Terlebih lagi jika kita mengadopsi kepercayaan-kepercayaan itu sesuai dengan tujuan yang ada pada tataran pemikirannya, misalnya untuk memudahkan rejeki atau menyembuhkan penyakit. Hal-hal semacam ini berpotensi besar merusak akidah kita dan menjerumuskan diri kita ke dalam kesyirikan. Dampak yang merusak ini seringkali tidak disadari, namun lambat laun menjadi sugesti di dalam diri kita. Kita lalu bergantung kepada hal-hal yang sebenarnya tidak dapat mendatangkan keselamatan, manfaat maupun mudharat kepada diri kita, dan malah melepaskan diri dari ketergantungan kepada Allah semata. Jika demikian adanya, maka sesungguhnya kita tengah menghadapi bencana terbesar dalam kehidupan sebelum dan sesudah kematian kita. Di dalam al-Qur’an, Allah swt telah memperingatkan kita tentang hal ini, “Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. at-Taubah [9]: 109). Di dalam ayat ini terdapat perumpamaan orang-orang yang berpegang kepada selain Allah swt sebagai orang-orang yang mendirikan bangunan di tepi jurang yang runtuh. Pekerjaannya sia-sia, tidak berdasar, bahkan mendapatkan murka Allah swt. Semoga Allah swt menghindarkan kita semua dari kerugian dan kebinasaan semacam ini.
Bagi para arsitek ataupun calon arsitek muslim, sikap yang tepat terhadap hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab kita kepada Allah swt. Jangan pernah menganggap profesionalitas adalah memisahkan profesi dari keyakinan dan agama kita, karena hal itu akan menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang terbelah. Bagi masyarakat non-muslim, adalah wajib bagi kita untuk menghargai dan menghormati kepercayaan yang mereka anut. Namun demikian, bagi masyarakat muslim, adalah tanggung jawab kita untuk ikut serta mendidik mereka (sekali lagi: masyarakat muslim) dan meluruskan pemahaman mereka tentang hal ini. Tentu saja hal ini harus dilakukan dengan cara-cara yang terbaik dan dengan kata-kata yang menyentuh kesadaran, bukannya membuat sebagian masyarakat muslim malah menjadi semakin antipati terhadap ketentuan Allah swt ini. Nabi Muhammad saw telah memperingatkan kita untuk berkata baik atau diam. Karenanya, jika telah mencoba dengan cara-cara terbaik untuk memberikan pemahaman namun tidak juga diperoleh kesadaran, maka ingatlah bahwa kewajiban kita hanyalah menyampaikan, bukan memaksakan. Jalan terbaik setelahnya adalah meninggalkan keadaan itu sebagai bentuk penolakan kita terhadap keyakinan mereka yang keliru, dengan tetap menunjukkan sikap yang baik dan menghargai mereka. Namun begitu, rasa menghargai dan menghormati itu tidaklah harus diwujudkan dengan meniru atau mengikuti keyakinan mereka yang sebenarnya bertentangan dengan koridor yang telah ada di dalam agama. Jangan pernah merasa takut akan kehilangan rejeki yang halal, karena rejeki berasal dari Allah swt. Tidak akan berkurang rejeki kita karena kita meninggalkan pekerjaan yang dilarang Allah swt, dan tidak akan bertambah rejeki kita karena kita melakukan pekerjaan yang dilarang tersebut. Wallahu a’lamu bish shawab, dan Allah-lah pemilik segala pengetahuan…
Reality Show Renovasi Rumah Tinggal dan Budaya Berhuni Masyarakat Kurang Mampu
Reality Show Renovasi Rumah Tinggal dan Budaya Berhuni Masyarakat Kurang Mampu
(Diformat ulang dari presentasi panel dan makalah untuk Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP)1 Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM, 16 Januari 2010)
Yulia Eka Putrie & Luluk Maslucha
Salah satu acara reality show di televisi yang dikenal masyarakat saat ini adalah acara renovasi rumah tinggal bagi masyarakat kurang mampu. Terdapat cukup banyak dampak positif dari acara-acara semacam itu bagi masyarakat penerima bantuan dan para pemirsa televisi pada umumnya. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa dampak negatif yang muncul akibat acara-acara itu terhadap masyarakat kurang mampu, baik penghuni rumah yang bersangkutan maupun anggota masyarakat lain yang menontonnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif yang merupakan penelitian awal bagi Evaluasi Purna Huni yang akan dilakukan setelahnya. Aspek-aspek yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari aspek fisik dan aspek non-fisik dari hunian-hunian yang telah mengalami renovasi. Terdapat beberapa temuan dalam penelitian ini, yaitu (1) terdapat beberapa aspek kualitas fisik bangunan dan ruang-ruang di dalam hunian yang kurang memadai untuk kehidupan berhuni, (2) terdapat keseragaman dan kemonotonan rancangan fisik bangunan pada sebagian besar hunian hasil renovasi tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya berhuni, latar belakang, dan karakteristik masing-masing penghuni, (3) terdapat indikasi upaya pengubahan yang signifikan pada arsitektur hunian tanpa pertimbangan tentang kekhasan budaya berhuni pemilik masing-masing hunian, dan (4) terdapat indikasi upaya untuk mengarahkan para penghuni untuk mengikuti standar berkehidupan dan berhuni tertentu yang dianggap lebih layak.
Pendahuluan
Peran televisi sebagai media yang membawa pengaruh kepada masyarakat, baik positif maupun negatif, sudah tidak diragukan lagi. Berbagai acara yang disuguhkan di dalamnya telah membawa perubahan yang signifikan bagi berbagai sendi kehidupan masyarakat. Pengaruh positif yang dapat diamati, salah satunya adalah cepat dan luasnya penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan. Televisi memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk dapat mengakses berbagai informasi terbaru di berbagai wilayah. Sementara itu, pengaruh negatif dari keberadaan televisi juga dapat diamati dari adanya kecenderungan sebagian masyarakat untuk mengikuti tren gaya hidup yang ditayangkan melalui sinetron, infotainmen, film televisi, dan sebagainya. Tidak hanya itu, kecenderungan melakukan tindakan kekerasan dan kecurangan yang dipertontonkan di dalam acara-acara itu juga membawa pengaruh yang buruk terhadap pemirsa televisi. Televisi juga telah memberikan pengaruh kepada perilaku dan kebiasaan masyarakat, karena menonton televisi telah menjadi ritual harian dari masyarakat saat ini. Dalam pernyataannya, E. Biser (Tondowidjojo, 1999) mengatakan bahwa pada umumnya high-tech bertujuan untuk mengubah utopi-utopi ke dalam realita, sebaliknya televisi justru mengubah realitas sehari-hari menjadi utopi-utopi. Isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial. Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media massa inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari media massa akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial itu. Oleh karena itu, media massa sebenarnya selalu dituntut untuk menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Walaupun demikian, kenyataan yang seringkali ditemui saat ini adalah apa yang dianggap berkualitas oleh acara-acara televisi, secara serentak akan dianggap berkualitas pula oleh sebagian besar masyarakat. Berbagai acara sinetron, film televisi, dan infotainmen juga selalu dikemas untuk meyakinkan masyarakat akan gaya hidup yang dianggap paling berkualitas, layak, dan membahagiakan untuk dijalani.
Selain sinetron dan infotainmen, program yang sedang marak diusung oleh berbagai stasiun televisi saat ini adalah reality show. Walaupun telah mendapatkan banyak kecaman dari berbagai pihak, sebagian acara reality show tetap mendapatkan tempatnya di sebagian besar stasiun televisi. Keberadaan berbagai acara reality show ini memang tidak terlepas dari berbagai pengaruh positif dan negatif yang diberikannya kepada masyarakat. Pengaruh positif yang diberikan kepada masyarakat, di antaranya adalah dapat memberikan gambaran mengenai realitas baik dan buruk yang terjadi di masyarakat. Beberapa acara reality show juga relatif lebih sederhana, mudah dimengerti, jujur kepada para pemirsanya, dan cukup membantu masyarakat. Sementara itu, beberapa pengaruh negatif yang dapat diamati dari keberadaan sebagian reality show itu, di antaranya adalah adanya indikasi kebohongan-kebohongan yang tampak jelas di mata pemirsa, adanya adegan-adegan yang mengarah kepada kekerasan dan caci maki, adanya privasi orang lain yang dilanggar, dan sebagainya. Selain itu, sebagian acara reality show juga memberikan pengaruh terhadap cara pandang masyarakat akan gaya hidup, kebahagiaan, dan kemewahan.
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu bentuk kritik terhadap acara-acara reality show yang berkaitan erat dengan bidang arsitektur. Di dalam acara-acara reality show itu, ditampilkan sebuah keluarga kurang mampu dengan rumah yang ‘kurang layak’ dalam pandangan acara ini. Keluarga kurang mampu itu lalu dibawa menginap di sebuah hotel, sementara rumah mereka direnovasi atau dibangun kembali. Di akhir acara, ditampilkan pula keadaan keluarga kurang mampu itu yang sangat terkejut dan bahagia melihat kondisi rumah mereka yang tampak jauh lebih indah dan baik daripada sebelum mereka tinggalkan.
Terdapat cukup banyak dampak positif di balik keberadaan acara-acara semacam itu bagi masyarakat yang memperoleh bantuan dan bagi para pemirsa televisi pada umumnya. Masyarakat penerima bantuan dapat memiliki rumah yang tampilan fisiknya lebih indah dan layak huni. Para pemirsa acara-acara reality show itu pun dapat digugah untuk lebih peduli kepada lingkungan masing-masing. Walaupun demikian, terdapat pula berbagai dampak negatif yang muncul akibat keberadaan acara-acara itu. Dalam aspek sosial – ekonomi, cara membantu yang keliru dapat mengakibatkan masyarakat menjadi lebih konsumtif. Salah satu contohnya adalah pemberian alat-alat elektronik pelengkap rumah tinggal yang menyebabkan penghuninya mengkonsumsi lebih banyak energi listrik yang belum tentu mampu mereka bayar. Kekeliruan ini juga dapat mengakibatkan sebagian masyarakat memilih untuk hanya menerima secara pasif bantuan yang diberikan tanpa melalui upaya-upaya tertentu yang dapat menumbuhkan perasaan berharga dan mandiri dalam diri mereka. Selain itu, terdapat pula pengaruh terhadap cara pandang masyarakat yang diarahkan untuk menganggap cara hidup yang sederhana dan apa adanya sebagai suatu kemalangan yang perlu diubah dan diarahkan ke gaya hidup nyaman dengan hotel sebagai standar kenyamanannya. Sementara itu, secara arsitektural terdapat pula beberapa indikasi dampak negatif yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
Secara umum, perancangan hunian selalu merujuk pada kebutuhan hidup paling mendasar para penghuninya. Di dalam setiap peradaban, manusia selalu membutuhkan tempat berteduh. Karenanya, membahas sebuah rumah berarti membahas kebudayaan suatu masyarakat yang terepresentasi melalui ruang yang digunakan untuk berhuni. Dari berhunilah manusia mengejawantahkan dirinya sebagai mahluk sosial dan mempunyai struktur keluarga, baik secara vertikal maupun horisontal (Kartono, 2000). Banyak sudut pandang yang dapat digunakan untuk mencermati bentuk hunian yang tercipta. Oleh karena itu, standar kualitas kehidupan berhuni dari masyarakat tidak dapat disamaratakan dalam satu persepsi yang sama. Hal ini dikarenakan setiap manusia dan setiap keluarga mempunyai kebutuhan yang berbeda. Dari acara-acara reality show di televisi itu, dapat diamati bahwa kebutuhan dan persepsi masing-masing penghuni terhadap kualitas keindahan dan kenyamanan hunian mereka seolah-olah dianggap sama rata. Padahal, setiap orang mempunyai perbedaan yang berkaitan dengan perbedaan budaya dan kebiasaan dan perilaku mereka. Sebagai sarana pengejawantahan diri manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial, sudah barang tentu setiap hunian akan berbeda pula seiring dengan perbedaan penghuninya masing-masing.
Menurut Rapoport (1969), terdapat lima aspek yang mempengaruhi bentuk sebuah hunian, yaitu (1) kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia, (2) keluarga, merupakan suatu unit kehidupan yang paling mendasar pada setiap masyarakat, (3) posisi wanita, karena wanitalah yang menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam rumah, (4) privasi, beberapa kebudayaan mempunyai derajat privasi yang berbeda satu sama lain, dan (5) hubungan sosial, setiap masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda akan melahirkan ruang untuk berinteraksi sosial yang berbeda pula. Pertimbangan kualitas visual dan estetika merupakan hal yang penting di dalam sebuah hunian, tetapi pertimbangan terhadap aspek kehidupan manusia di atas adalah prioritas yang harus dipertimbangkan dalam proses perancangan sebuah hunian. Aspek-aspek kehidupan manusia dan budaya berhuni masyarakat inilah yang tampaknya kurang diperhatikan dalam proses perancangan dan pembangunan hunian di acara-acara reality show tersebut.
Hal yang patut digarisbawahi adalah, penelitian ini sama sekali tidak bermaksud untuk mencari-cari kesalahan salah satu pihak, namun untuk memberi masukan agar acara-acara semacam ini dapat lebih tepat guna dan bermanfaat bagi masyarakat dalam jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Hasil dari penelitian ini kemudian akan digunakan sebagai dasar pijakan yang objektif bagi evaluasi purna huni yang akan dilakukan selanjutnya. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi atau bahan pertimbangan, agar bantuan renovasi rumah tinggal yang diberikan kepada masyarakat kurang mampu dapat lebih sesuai dan bermanfaat bagi kehidupan mereka dalam jangka panjang.
Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa temuan mengenai dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Pertama, terdapat beberapa aspek kualitas fisik bangunan dan ruang-ruang di dalam hunian yang kurang memadai untuk kehidupan berhuni. Kurang memadainya kualitas fisik bangunan ini dapat diamati dari penggunaan material dan struktur bangunan yang kurang sesuai terhadap iklim setempat, misalnya (1) jendela-jendela kaca mati dan dinding-dinding masif yang minim penghawaan menggantikan dinding-dinding anyaman bambu yang mampu mengalirkan penghawaan alami ke dalam ruangan, (2) teras-teras sempit dan seadanya menggantikan beranda yang luas dan teduh, (3) dapur yang sempit dan penuh perabot menggantikan dapur yang lapang dan multifungsi, (4) material dinding luar bangunan memiliki ketahanan yang sangat terbatas terhadap cuaca, (5) struktur bangunan dibangun secara instan dan hanya mampu menahan beban-beban yang ringan, (6) tritisan atap, teras dan jendela sangat minim, bahkan terkadang tidak ada, menyebabkan penurunan ketahanan material bangunan dan berkurangnya kenyamanan fisik di dalam ruang, dan (7) jika di masa depan terjadi kerusakan material atau struktur bangunan, terdapat kemungkinan para penghuni akan mengalami kesulitan untuk mengganti bagian-bagian yang rusak itu, karena material yang digunakan kurang dikenal atau mungkin tidak terjangkau oleh mereka.
Kedua, terdapat keseragaman dan kemonotonan rancangan fisik bangunan pada sebagian besar hunian hasil renovasi tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya berhuni, latar belakang dan karakteristik masing-masing penghuni. Di sebagian besar rumah hasil renovasi dapat dilihat adanya keseragaman rancangan fisik hunian yang dapat diamati dari tatanan ruang dan pengolahan fasad bangunan. Hal ini menunjukkan sangat kurangnya pertimbangan akan karakteristik yang berbeda dari masing-masing penghuni, sesuai dengan latar belakang, jenis pekerjaan, jumlah anggota keluarga, umur dan jenis kelamin masing-masing anggota keluarga, serta keinginan dan kepribadian masing-masing penghuni. Perancangan sebagian besar rumah tampaknya hanya dititikberatkan pada pertimbangan-pertimbangan estetis dan keinstanan proses pembangunannya. Pertimbangan estetis dijadikan salah satu faktor utama karena relatif mudah dan cepat ditangkap oleh pemirsa secara kasat mata. Hal ini tampak dari pengolahan fasad dan pemilihan jenis perabot yang mengisi ruang-ruang di dalam hunian yang sangat eye-catching dengan warna-warna yang mencolok. Dengan estetika bangunan yang diolah sedemikian rupa, pemirsa dapat diajak untuk dengan segera menilai keberhasilan renovasi bangunan yang bersangkutan. Sementara itu, pertimbangan keinstanan proses pembangunan juga menjadi titik berat karena tuntutan acara yang bersangkutan untuk menyelesaikan bangunan dalam jangka waktu yang sangat terbatas (sekitar satu hingga tiga hari). Bangunan harus dirancang dan dibangun sesingkat mungkin berdasarkan berbagai pertimbangan ekonomis, seperti biaya material, tukang, pembongkaran, pembangunan, kru syuting, dan penginapan sementara bagi penghuni rumah. Dengan demikian, tidak terdapat cukup waktu untuk mempertimbangkan berbagai faktor lain dan kekhasan karakteristik masing-masing penghuni dalam proses perancangan dan pembangunan hunian mereka sendiri.
Ketiga, terdapat indikasi upaya pengubahan yang signifikan pada arsitektur hunian tanpa pertimbangan tentang kekhasan budaya berhuni pemilik masing-masing hunian. Selain berakibat pada keseragaman rancangan fisik bangunan, kurangnya pertimbangan akan kekhasan karakteristik masing-masing penghuni juga berimbas pada adanya pengubahan signifikan arsitektur bangunan hunian dari bangunan yang telah ada sebelumnya. Kebiasaan hidup, jenis pekerjaan, jumlah penghuni, umur dan jenis kelamin masing-masing anggota keluarga, serta keinginan dan kepribadian masing-masing penghuni kurang dipertimbangkan dalam perancangan hunian mereka karena keterbatasan waktu dan penitikberatan rancangan kepada faktor estetika bangunan. Sebagian besar penghuni juga tidak pernah dimintai pendapat mengenai keseluruhan proses pembongkaran dan pembangunan kembali bangunan hunian mereka. Hal ini dilakukan sebab setting acara ini bertujuan untuk memberikan efek kejutan kepada para penghuni setelah rumah selesai direnovasi. Perubahan signifikan yang dapat diamati, di antaranya adalah (1) hilangnya beranda yang luas tempat penghuni menerima tamu dan kerabat, digantikan dengan teras yang sempit dan seadanya, (2) hilangnya dapur yang luas dan multifungsi (dapur dan beranda seringkali dimanfaatkan pula sebagai area makan lesehan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan mereka), digantikan dengan dapur yang sempit dan bergaya modern, dan (3) hilangnya area lesehan yang nyaman untuk menerima tamu dan makan bersama, digantikan dengan seperangkat kursi dan meja makan, serta seperangkat meja dan kursi tamu.
Pada awalnya, perubahan yang signifikan pada sebagian besar ruang di dalam hunian itu bisa jadi belum terasa mengganggu bagi para penghuni, namun lambat laun mereka akan menyadari bahwa rumah yang mereka tinggali itu kurang sesuai dengan cara hidup, pekerjaan, kebiasaan, dan budaya berhuni mereka. Salah satu contohnya adalah keluarga yang terbiasa makan bersama-sama secara lesehan tidak akan dengan mudah mengubah kebiasaan mereka itu menjadi makan di meja makan. Mereka bisa jadi malah akan menyingkirkan meja makan itu agar mereka dapat kembali makan bersama secara lesehan. Begitu pula dengan kebiasaan menerima tamu di beranda yang bersifat santai dan dapat menjaga privasi anggota keluarga lainnya, tidak akan dapat dengan mudah diubah dengan keharusan menerima tamu di ruang tamu yang luasnya terbatas dan dilengkapi sofa dan meja tamu. Hal ini dikarenakan beranda yang luas tempat mereka biasa melakukan banyak aktivitas telah ditiadakan dan digantikan dengan teras yang sempit dan tak ternaungi dari hujan dan panas. Selain itu, di rumah-rumah dengan luas yang relatif terbatas, privasi anggota keluarga dapat tetap dijaga dengan menerima tamu di area beranda. Terjaganya privasi anggota keluarga pada saat menerima tamu itu tidak lagi diperoleh di rumah-rumah hasil renovasi ini. Dengan adanya perubahan yang signifikan dari tatanan ruang hunian awal, keluarga-keluarga yang mendiami rumah-rumah hasil renovasi ini pun secara tidak langsung diarahkan untuk mengubah pula kebiasaan-kebiasaan dan karakteristik-karakteristik keluarga masing-masing. Masyarakat juga secara tidak langsung diarahkan untuk menganggap cara berhuni yang baru sebagai cara berhuni yang lebih baik dan layak dibandingkan dengan budaya berhuni yang mereka miliki sebelumnya. Mereka harus menerima pakem-pakem budaya baru yang dianggap lebih layak dan beradab oleh para pemberi bantuan seperti makan di meja makan dan bukan lesehan, menerima tamu di ruang tamu dan bukan di teras yang lapang, memasak di dapur yang simpel dan modern, dan sebagainya. Padahal, budaya berhuni mereka sebelumnya sesungguhnya tidaklah keliru atau lebih buruk daripada budaya baru yang harus mereka terima di hunian mereka. Kebiasaan makan bersama dan menerima tamu secara lesehan sebenarnya menunjukkan adanya keakraban dan kedekatan, baik antar anggota keluarga maupun antara penghuni dengan para tamu mereka. Karenanya, kebiasaan-kebiasaan dan budaya berhuni yang telah mereka jalani selama ini tidak sepantasnya diubah begitu saja tanpa meminta pertimbangan mereka, walaupun pengubahan itu dilakukan dengan tujuan yang baik.
Keempat, terdapat indikasi upaya untuk mengarahkan para penghuni untuk mengikuti standar berkehidupan dan berhuni tertentu yang dianggap lebih layak. Temuan ini merupakan kelanjutan dari temuan sebelumnya mengenai adanya upaya pengubahan budaya berhuni masyarakat penerima bantuan melalui pengubahan secara signifikan ruang-ruang yang ada di hunian mereka. Indikasi adanya upaya ini disimpulkan berdasarkan pengamatan terhadap keseluruhan proses syuting acara renovasi rumah ini, terutama pada saat masyarakat penerima bantuan tidak dimintai pertimbangan mengenai rumah mereka sendiri dan pada saat mereka dibawa menuju hotel, restoran, spa, atau salon untuk merasakan kenyamanan yang diperoleh dari gaya hidup menengah ke atas itu. Secara tidak langsung, mereka seakan diarahkan untuk mengakui bahwa kehidupan mereka sebelum ini sangat jauh dari standar kelayakan hidup. Mereka juga seakan ditunjukkan bahwa cara hidup yang demikianlah yang sebaiknya mereka jalani setelahnya di rumah mereka yang telah direnovasi. Cara pandang semacam ini cukup berbahaya karena dapat menyebabkan orang-orang yang diberi bantuan itu menjadi rendah diri, kurang mensyukuri nikmat yang ada selama ini, atau malah menjadi lebih konsumtif di kemudian hari. Secara arsitektural, cara pandang semacam ini dapat menyebabkan timbulnya keinginan untuk memiliki rumah yang megah dan mewah dengan memaksakan segenap kemampuan mereka. Karenanya, walaupun cara membantu yang demikian cukup membahagiakan pada saat-saat awal, namun tampaknya kurang tepat bagi masyarakat penerima bantuan di masa-masa selanjutnya.
Penutup
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa selain memiliki dampak-dampak yang positif, acara-acara reality show tentang proses renovasi rumah atau hunian di televisi juga memiliki beberapa dampak negatif. Walaupun demikian, acara-acara semacam ini tidaklah harus ditiadakan sama sekali. Penyelenggara acara-acara ini hanya perlu memikirkan kembali format acara renovasi rumah yang lebih tepat guna dan bermanfaat untuk jangka panjang. Penyelenggara acara juga dapat mempertimbangkan kemampuan penghuni dalam memelihara dan mengelola bangunan hunian yang akan dibangun untuk mereka, seperti kemampuan untuk memperbaiki kerusakan di masa mendatang, ketahanan bangunan terhadap iklim dan bencana, dan kemampuan penghuni untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di rumah-rumah tersebut. Selain itu, penyelenggara acara juga disarankan untuk meminta pendapat penghuni atas rancangan hunian mereka sendiri, memperhatikan kebiasaan sehari-hari masing-masing penghuni, dan mempertahankan budaya berhuni yang baik dan sesuai bagi mereka selama ini. Penyelenggara acara juga dapat membantu untuk meningkatkan produktivitas penghuni melalui penataan ruang, misalnya dengan menyediakan ruang usaha, warung kecil, atau ruang-ruang multifungsi yang fleksibel untuk melakukan pekerjaan mereka.
Dalam bidang keilmuan arsitektur, penelitian ini merupakan dasar bagi penelitian selanjutnya dengan metode Post Occupancy Evaluation (POE) untuk dapat mengetahui apakah dalam perkembangan selanjutnya terjadi perubahan perilaku penghuni akibat pengubahan signifikan hunian mereka, seperti telah dijelaskan di atas, ataukah terjadi pengubahan tatanan ruang dan aspek-aspek arsitektural lainnya sehingga lebih sesuai bagi budaya berhuni dan perilaku para penghuninya. POE juga dibutuhkan untuk mengevaluasi kualitas-kualitas fisik bangunan hunian setelah dihuni, karena pada penelitian ini ditemukan adanya perubahan kualitas fisik bangunan yang dijelaskan pada awal bagian pembahasan di atas. Perubahan kualitas fisik bangunan setelah beberapa waktu dihuni sedikit banyak juga mempengaruhi kualitas hidup penghuni di dalam rumah-rumah hasil renovasi itu.
Referensi
Rapoport A (1969) House, Form and Culture, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New York
Kartono (2000) Studi Awal Tentang Polemik Peran Wanita Pada Desain Rumah Tinggal dengan Pendekatan Genealogi. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 28, No. 2, Desember 2000: 79 – 87
Tondowidjojo, John CM (1999) Komunikasi Berbalik Menjadi Konsumsi, Warta Paragonz, Forum Komunikasi Umat
(Diformat ulang dari presentasi panel dan makalah untuk Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP)1 Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM, 16 Januari 2010)
Yulia Eka Putrie & Luluk Maslucha
Salah satu acara reality show di televisi yang dikenal masyarakat saat ini adalah acara renovasi rumah tinggal bagi masyarakat kurang mampu. Terdapat cukup banyak dampak positif dari acara-acara semacam itu bagi masyarakat penerima bantuan dan para pemirsa televisi pada umumnya. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa dampak negatif yang muncul akibat acara-acara itu terhadap masyarakat kurang mampu, baik penghuni rumah yang bersangkutan maupun anggota masyarakat lain yang menontonnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif yang merupakan penelitian awal bagi Evaluasi Purna Huni yang akan dilakukan setelahnya. Aspek-aspek yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari aspek fisik dan aspek non-fisik dari hunian-hunian yang telah mengalami renovasi. Terdapat beberapa temuan dalam penelitian ini, yaitu (1) terdapat beberapa aspek kualitas fisik bangunan dan ruang-ruang di dalam hunian yang kurang memadai untuk kehidupan berhuni, (2) terdapat keseragaman dan kemonotonan rancangan fisik bangunan pada sebagian besar hunian hasil renovasi tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya berhuni, latar belakang, dan karakteristik masing-masing penghuni, (3) terdapat indikasi upaya pengubahan yang signifikan pada arsitektur hunian tanpa pertimbangan tentang kekhasan budaya berhuni pemilik masing-masing hunian, dan (4) terdapat indikasi upaya untuk mengarahkan para penghuni untuk mengikuti standar berkehidupan dan berhuni tertentu yang dianggap lebih layak.
Pendahuluan
Peran televisi sebagai media yang membawa pengaruh kepada masyarakat, baik positif maupun negatif, sudah tidak diragukan lagi. Berbagai acara yang disuguhkan di dalamnya telah membawa perubahan yang signifikan bagi berbagai sendi kehidupan masyarakat. Pengaruh positif yang dapat diamati, salah satunya adalah cepat dan luasnya penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan. Televisi memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk dapat mengakses berbagai informasi terbaru di berbagai wilayah. Sementara itu, pengaruh negatif dari keberadaan televisi juga dapat diamati dari adanya kecenderungan sebagian masyarakat untuk mengikuti tren gaya hidup yang ditayangkan melalui sinetron, infotainmen, film televisi, dan sebagainya. Tidak hanya itu, kecenderungan melakukan tindakan kekerasan dan kecurangan yang dipertontonkan di dalam acara-acara itu juga membawa pengaruh yang buruk terhadap pemirsa televisi. Televisi juga telah memberikan pengaruh kepada perilaku dan kebiasaan masyarakat, karena menonton televisi telah menjadi ritual harian dari masyarakat saat ini. Dalam pernyataannya, E. Biser (Tondowidjojo, 1999) mengatakan bahwa pada umumnya high-tech bertujuan untuk mengubah utopi-utopi ke dalam realita, sebaliknya televisi justru mengubah realitas sehari-hari menjadi utopi-utopi. Isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial. Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media massa inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari media massa akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial itu. Oleh karena itu, media massa sebenarnya selalu dituntut untuk menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Walaupun demikian, kenyataan yang seringkali ditemui saat ini adalah apa yang dianggap berkualitas oleh acara-acara televisi, secara serentak akan dianggap berkualitas pula oleh sebagian besar masyarakat. Berbagai acara sinetron, film televisi, dan infotainmen juga selalu dikemas untuk meyakinkan masyarakat akan gaya hidup yang dianggap paling berkualitas, layak, dan membahagiakan untuk dijalani.
Selain sinetron dan infotainmen, program yang sedang marak diusung oleh berbagai stasiun televisi saat ini adalah reality show. Walaupun telah mendapatkan banyak kecaman dari berbagai pihak, sebagian acara reality show tetap mendapatkan tempatnya di sebagian besar stasiun televisi. Keberadaan berbagai acara reality show ini memang tidak terlepas dari berbagai pengaruh positif dan negatif yang diberikannya kepada masyarakat. Pengaruh positif yang diberikan kepada masyarakat, di antaranya adalah dapat memberikan gambaran mengenai realitas baik dan buruk yang terjadi di masyarakat. Beberapa acara reality show juga relatif lebih sederhana, mudah dimengerti, jujur kepada para pemirsanya, dan cukup membantu masyarakat. Sementara itu, beberapa pengaruh negatif yang dapat diamati dari keberadaan sebagian reality show itu, di antaranya adalah adanya indikasi kebohongan-kebohongan yang tampak jelas di mata pemirsa, adanya adegan-adegan yang mengarah kepada kekerasan dan caci maki, adanya privasi orang lain yang dilanggar, dan sebagainya. Selain itu, sebagian acara reality show juga memberikan pengaruh terhadap cara pandang masyarakat akan gaya hidup, kebahagiaan, dan kemewahan.
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu bentuk kritik terhadap acara-acara reality show yang berkaitan erat dengan bidang arsitektur. Di dalam acara-acara reality show itu, ditampilkan sebuah keluarga kurang mampu dengan rumah yang ‘kurang layak’ dalam pandangan acara ini. Keluarga kurang mampu itu lalu dibawa menginap di sebuah hotel, sementara rumah mereka direnovasi atau dibangun kembali. Di akhir acara, ditampilkan pula keadaan keluarga kurang mampu itu yang sangat terkejut dan bahagia melihat kondisi rumah mereka yang tampak jauh lebih indah dan baik daripada sebelum mereka tinggalkan.
Terdapat cukup banyak dampak positif di balik keberadaan acara-acara semacam itu bagi masyarakat yang memperoleh bantuan dan bagi para pemirsa televisi pada umumnya. Masyarakat penerima bantuan dapat memiliki rumah yang tampilan fisiknya lebih indah dan layak huni. Para pemirsa acara-acara reality show itu pun dapat digugah untuk lebih peduli kepada lingkungan masing-masing. Walaupun demikian, terdapat pula berbagai dampak negatif yang muncul akibat keberadaan acara-acara itu. Dalam aspek sosial – ekonomi, cara membantu yang keliru dapat mengakibatkan masyarakat menjadi lebih konsumtif. Salah satu contohnya adalah pemberian alat-alat elektronik pelengkap rumah tinggal yang menyebabkan penghuninya mengkonsumsi lebih banyak energi listrik yang belum tentu mampu mereka bayar. Kekeliruan ini juga dapat mengakibatkan sebagian masyarakat memilih untuk hanya menerima secara pasif bantuan yang diberikan tanpa melalui upaya-upaya tertentu yang dapat menumbuhkan perasaan berharga dan mandiri dalam diri mereka. Selain itu, terdapat pula pengaruh terhadap cara pandang masyarakat yang diarahkan untuk menganggap cara hidup yang sederhana dan apa adanya sebagai suatu kemalangan yang perlu diubah dan diarahkan ke gaya hidup nyaman dengan hotel sebagai standar kenyamanannya. Sementara itu, secara arsitektural terdapat pula beberapa indikasi dampak negatif yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
Secara umum, perancangan hunian selalu merujuk pada kebutuhan hidup paling mendasar para penghuninya. Di dalam setiap peradaban, manusia selalu membutuhkan tempat berteduh. Karenanya, membahas sebuah rumah berarti membahas kebudayaan suatu masyarakat yang terepresentasi melalui ruang yang digunakan untuk berhuni. Dari berhunilah manusia mengejawantahkan dirinya sebagai mahluk sosial dan mempunyai struktur keluarga, baik secara vertikal maupun horisontal (Kartono, 2000). Banyak sudut pandang yang dapat digunakan untuk mencermati bentuk hunian yang tercipta. Oleh karena itu, standar kualitas kehidupan berhuni dari masyarakat tidak dapat disamaratakan dalam satu persepsi yang sama. Hal ini dikarenakan setiap manusia dan setiap keluarga mempunyai kebutuhan yang berbeda. Dari acara-acara reality show di televisi itu, dapat diamati bahwa kebutuhan dan persepsi masing-masing penghuni terhadap kualitas keindahan dan kenyamanan hunian mereka seolah-olah dianggap sama rata. Padahal, setiap orang mempunyai perbedaan yang berkaitan dengan perbedaan budaya dan kebiasaan dan perilaku mereka. Sebagai sarana pengejawantahan diri manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial, sudah barang tentu setiap hunian akan berbeda pula seiring dengan perbedaan penghuninya masing-masing.
Menurut Rapoport (1969), terdapat lima aspek yang mempengaruhi bentuk sebuah hunian, yaitu (1) kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia, (2) keluarga, merupakan suatu unit kehidupan yang paling mendasar pada setiap masyarakat, (3) posisi wanita, karena wanitalah yang menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam rumah, (4) privasi, beberapa kebudayaan mempunyai derajat privasi yang berbeda satu sama lain, dan (5) hubungan sosial, setiap masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda akan melahirkan ruang untuk berinteraksi sosial yang berbeda pula. Pertimbangan kualitas visual dan estetika merupakan hal yang penting di dalam sebuah hunian, tetapi pertimbangan terhadap aspek kehidupan manusia di atas adalah prioritas yang harus dipertimbangkan dalam proses perancangan sebuah hunian. Aspek-aspek kehidupan manusia dan budaya berhuni masyarakat inilah yang tampaknya kurang diperhatikan dalam proses perancangan dan pembangunan hunian di acara-acara reality show tersebut.
Hal yang patut digarisbawahi adalah, penelitian ini sama sekali tidak bermaksud untuk mencari-cari kesalahan salah satu pihak, namun untuk memberi masukan agar acara-acara semacam ini dapat lebih tepat guna dan bermanfaat bagi masyarakat dalam jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Hasil dari penelitian ini kemudian akan digunakan sebagai dasar pijakan yang objektif bagi evaluasi purna huni yang akan dilakukan selanjutnya. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi atau bahan pertimbangan, agar bantuan renovasi rumah tinggal yang diberikan kepada masyarakat kurang mampu dapat lebih sesuai dan bermanfaat bagi kehidupan mereka dalam jangka panjang.
Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa temuan mengenai dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Pertama, terdapat beberapa aspek kualitas fisik bangunan dan ruang-ruang di dalam hunian yang kurang memadai untuk kehidupan berhuni. Kurang memadainya kualitas fisik bangunan ini dapat diamati dari penggunaan material dan struktur bangunan yang kurang sesuai terhadap iklim setempat, misalnya (1) jendela-jendela kaca mati dan dinding-dinding masif yang minim penghawaan menggantikan dinding-dinding anyaman bambu yang mampu mengalirkan penghawaan alami ke dalam ruangan, (2) teras-teras sempit dan seadanya menggantikan beranda yang luas dan teduh, (3) dapur yang sempit dan penuh perabot menggantikan dapur yang lapang dan multifungsi, (4) material dinding luar bangunan memiliki ketahanan yang sangat terbatas terhadap cuaca, (5) struktur bangunan dibangun secara instan dan hanya mampu menahan beban-beban yang ringan, (6) tritisan atap, teras dan jendela sangat minim, bahkan terkadang tidak ada, menyebabkan penurunan ketahanan material bangunan dan berkurangnya kenyamanan fisik di dalam ruang, dan (7) jika di masa depan terjadi kerusakan material atau struktur bangunan, terdapat kemungkinan para penghuni akan mengalami kesulitan untuk mengganti bagian-bagian yang rusak itu, karena material yang digunakan kurang dikenal atau mungkin tidak terjangkau oleh mereka.
Kedua, terdapat keseragaman dan kemonotonan rancangan fisik bangunan pada sebagian besar hunian hasil renovasi tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya berhuni, latar belakang dan karakteristik masing-masing penghuni. Di sebagian besar rumah hasil renovasi dapat dilihat adanya keseragaman rancangan fisik hunian yang dapat diamati dari tatanan ruang dan pengolahan fasad bangunan. Hal ini menunjukkan sangat kurangnya pertimbangan akan karakteristik yang berbeda dari masing-masing penghuni, sesuai dengan latar belakang, jenis pekerjaan, jumlah anggota keluarga, umur dan jenis kelamin masing-masing anggota keluarga, serta keinginan dan kepribadian masing-masing penghuni. Perancangan sebagian besar rumah tampaknya hanya dititikberatkan pada pertimbangan-pertimbangan estetis dan keinstanan proses pembangunannya. Pertimbangan estetis dijadikan salah satu faktor utama karena relatif mudah dan cepat ditangkap oleh pemirsa secara kasat mata. Hal ini tampak dari pengolahan fasad dan pemilihan jenis perabot yang mengisi ruang-ruang di dalam hunian yang sangat eye-catching dengan warna-warna yang mencolok. Dengan estetika bangunan yang diolah sedemikian rupa, pemirsa dapat diajak untuk dengan segera menilai keberhasilan renovasi bangunan yang bersangkutan. Sementara itu, pertimbangan keinstanan proses pembangunan juga menjadi titik berat karena tuntutan acara yang bersangkutan untuk menyelesaikan bangunan dalam jangka waktu yang sangat terbatas (sekitar satu hingga tiga hari). Bangunan harus dirancang dan dibangun sesingkat mungkin berdasarkan berbagai pertimbangan ekonomis, seperti biaya material, tukang, pembongkaran, pembangunan, kru syuting, dan penginapan sementara bagi penghuni rumah. Dengan demikian, tidak terdapat cukup waktu untuk mempertimbangkan berbagai faktor lain dan kekhasan karakteristik masing-masing penghuni dalam proses perancangan dan pembangunan hunian mereka sendiri.
Ketiga, terdapat indikasi upaya pengubahan yang signifikan pada arsitektur hunian tanpa pertimbangan tentang kekhasan budaya berhuni pemilik masing-masing hunian. Selain berakibat pada keseragaman rancangan fisik bangunan, kurangnya pertimbangan akan kekhasan karakteristik masing-masing penghuni juga berimbas pada adanya pengubahan signifikan arsitektur bangunan hunian dari bangunan yang telah ada sebelumnya. Kebiasaan hidup, jenis pekerjaan, jumlah penghuni, umur dan jenis kelamin masing-masing anggota keluarga, serta keinginan dan kepribadian masing-masing penghuni kurang dipertimbangkan dalam perancangan hunian mereka karena keterbatasan waktu dan penitikberatan rancangan kepada faktor estetika bangunan. Sebagian besar penghuni juga tidak pernah dimintai pendapat mengenai keseluruhan proses pembongkaran dan pembangunan kembali bangunan hunian mereka. Hal ini dilakukan sebab setting acara ini bertujuan untuk memberikan efek kejutan kepada para penghuni setelah rumah selesai direnovasi. Perubahan signifikan yang dapat diamati, di antaranya adalah (1) hilangnya beranda yang luas tempat penghuni menerima tamu dan kerabat, digantikan dengan teras yang sempit dan seadanya, (2) hilangnya dapur yang luas dan multifungsi (dapur dan beranda seringkali dimanfaatkan pula sebagai area makan lesehan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan mereka), digantikan dengan dapur yang sempit dan bergaya modern, dan (3) hilangnya area lesehan yang nyaman untuk menerima tamu dan makan bersama, digantikan dengan seperangkat kursi dan meja makan, serta seperangkat meja dan kursi tamu.
Pada awalnya, perubahan yang signifikan pada sebagian besar ruang di dalam hunian itu bisa jadi belum terasa mengganggu bagi para penghuni, namun lambat laun mereka akan menyadari bahwa rumah yang mereka tinggali itu kurang sesuai dengan cara hidup, pekerjaan, kebiasaan, dan budaya berhuni mereka. Salah satu contohnya adalah keluarga yang terbiasa makan bersama-sama secara lesehan tidak akan dengan mudah mengubah kebiasaan mereka itu menjadi makan di meja makan. Mereka bisa jadi malah akan menyingkirkan meja makan itu agar mereka dapat kembali makan bersama secara lesehan. Begitu pula dengan kebiasaan menerima tamu di beranda yang bersifat santai dan dapat menjaga privasi anggota keluarga lainnya, tidak akan dapat dengan mudah diubah dengan keharusan menerima tamu di ruang tamu yang luasnya terbatas dan dilengkapi sofa dan meja tamu. Hal ini dikarenakan beranda yang luas tempat mereka biasa melakukan banyak aktivitas telah ditiadakan dan digantikan dengan teras yang sempit dan tak ternaungi dari hujan dan panas. Selain itu, di rumah-rumah dengan luas yang relatif terbatas, privasi anggota keluarga dapat tetap dijaga dengan menerima tamu di area beranda. Terjaganya privasi anggota keluarga pada saat menerima tamu itu tidak lagi diperoleh di rumah-rumah hasil renovasi ini. Dengan adanya perubahan yang signifikan dari tatanan ruang hunian awal, keluarga-keluarga yang mendiami rumah-rumah hasil renovasi ini pun secara tidak langsung diarahkan untuk mengubah pula kebiasaan-kebiasaan dan karakteristik-karakteristik keluarga masing-masing. Masyarakat juga secara tidak langsung diarahkan untuk menganggap cara berhuni yang baru sebagai cara berhuni yang lebih baik dan layak dibandingkan dengan budaya berhuni yang mereka miliki sebelumnya. Mereka harus menerima pakem-pakem budaya baru yang dianggap lebih layak dan beradab oleh para pemberi bantuan seperti makan di meja makan dan bukan lesehan, menerima tamu di ruang tamu dan bukan di teras yang lapang, memasak di dapur yang simpel dan modern, dan sebagainya. Padahal, budaya berhuni mereka sebelumnya sesungguhnya tidaklah keliru atau lebih buruk daripada budaya baru yang harus mereka terima di hunian mereka. Kebiasaan makan bersama dan menerima tamu secara lesehan sebenarnya menunjukkan adanya keakraban dan kedekatan, baik antar anggota keluarga maupun antara penghuni dengan para tamu mereka. Karenanya, kebiasaan-kebiasaan dan budaya berhuni yang telah mereka jalani selama ini tidak sepantasnya diubah begitu saja tanpa meminta pertimbangan mereka, walaupun pengubahan itu dilakukan dengan tujuan yang baik.
Keempat, terdapat indikasi upaya untuk mengarahkan para penghuni untuk mengikuti standar berkehidupan dan berhuni tertentu yang dianggap lebih layak. Temuan ini merupakan kelanjutan dari temuan sebelumnya mengenai adanya upaya pengubahan budaya berhuni masyarakat penerima bantuan melalui pengubahan secara signifikan ruang-ruang yang ada di hunian mereka. Indikasi adanya upaya ini disimpulkan berdasarkan pengamatan terhadap keseluruhan proses syuting acara renovasi rumah ini, terutama pada saat masyarakat penerima bantuan tidak dimintai pertimbangan mengenai rumah mereka sendiri dan pada saat mereka dibawa menuju hotel, restoran, spa, atau salon untuk merasakan kenyamanan yang diperoleh dari gaya hidup menengah ke atas itu. Secara tidak langsung, mereka seakan diarahkan untuk mengakui bahwa kehidupan mereka sebelum ini sangat jauh dari standar kelayakan hidup. Mereka juga seakan ditunjukkan bahwa cara hidup yang demikianlah yang sebaiknya mereka jalani setelahnya di rumah mereka yang telah direnovasi. Cara pandang semacam ini cukup berbahaya karena dapat menyebabkan orang-orang yang diberi bantuan itu menjadi rendah diri, kurang mensyukuri nikmat yang ada selama ini, atau malah menjadi lebih konsumtif di kemudian hari. Secara arsitektural, cara pandang semacam ini dapat menyebabkan timbulnya keinginan untuk memiliki rumah yang megah dan mewah dengan memaksakan segenap kemampuan mereka. Karenanya, walaupun cara membantu yang demikian cukup membahagiakan pada saat-saat awal, namun tampaknya kurang tepat bagi masyarakat penerima bantuan di masa-masa selanjutnya.
Penutup
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa selain memiliki dampak-dampak yang positif, acara-acara reality show tentang proses renovasi rumah atau hunian di televisi juga memiliki beberapa dampak negatif. Walaupun demikian, acara-acara semacam ini tidaklah harus ditiadakan sama sekali. Penyelenggara acara-acara ini hanya perlu memikirkan kembali format acara renovasi rumah yang lebih tepat guna dan bermanfaat untuk jangka panjang. Penyelenggara acara juga dapat mempertimbangkan kemampuan penghuni dalam memelihara dan mengelola bangunan hunian yang akan dibangun untuk mereka, seperti kemampuan untuk memperbaiki kerusakan di masa mendatang, ketahanan bangunan terhadap iklim dan bencana, dan kemampuan penghuni untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di rumah-rumah tersebut. Selain itu, penyelenggara acara juga disarankan untuk meminta pendapat penghuni atas rancangan hunian mereka sendiri, memperhatikan kebiasaan sehari-hari masing-masing penghuni, dan mempertahankan budaya berhuni yang baik dan sesuai bagi mereka selama ini. Penyelenggara acara juga dapat membantu untuk meningkatkan produktivitas penghuni melalui penataan ruang, misalnya dengan menyediakan ruang usaha, warung kecil, atau ruang-ruang multifungsi yang fleksibel untuk melakukan pekerjaan mereka.
Dalam bidang keilmuan arsitektur, penelitian ini merupakan dasar bagi penelitian selanjutnya dengan metode Post Occupancy Evaluation (POE) untuk dapat mengetahui apakah dalam perkembangan selanjutnya terjadi perubahan perilaku penghuni akibat pengubahan signifikan hunian mereka, seperti telah dijelaskan di atas, ataukah terjadi pengubahan tatanan ruang dan aspek-aspek arsitektural lainnya sehingga lebih sesuai bagi budaya berhuni dan perilaku para penghuninya. POE juga dibutuhkan untuk mengevaluasi kualitas-kualitas fisik bangunan hunian setelah dihuni, karena pada penelitian ini ditemukan adanya perubahan kualitas fisik bangunan yang dijelaskan pada awal bagian pembahasan di atas. Perubahan kualitas fisik bangunan setelah beberapa waktu dihuni sedikit banyak juga mempengaruhi kualitas hidup penghuni di dalam rumah-rumah hasil renovasi itu.
Referensi
Rapoport A (1969) House, Form and Culture, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New York
Kartono (2000) Studi Awal Tentang Polemik Peran Wanita Pada Desain Rumah Tinggal dengan Pendekatan Genealogi. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 28, No. 2, Desember 2000: 79 – 87
Tondowidjojo, John CM (1999) Komunikasi Berbalik Menjadi Konsumsi, Warta Paragonz, Forum Komunikasi Umat
Pendekatan Psikologi Arsitektur dalam Perancangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota-Kota Multikultural
Pendekatan Psikologi Arsitektur dalam Perancangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota-Kota Multikultural
(Diformat ulang dari Makalah untuk Seminar Nasional UUPR Jurusan PWK Universitas Brawijaya Malang, 29 April 2009)
Yulia Eka Putrie & Nunik Junara
Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang dan kurangnya rasa memiliki dari masyarakat pendatang terhadap kota tersebut. Citra kota pun terdegradasi akibat kenyataan ini. Karenanya, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural. Dengan pendekatan psikologi arsitektur, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah. Pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Masyarakat pendatang berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya pada RTH yang disediakan. Seluruh penduduk pun dapat menyaksikan bahwa para pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota. Taman-taman itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Dengan demikian, citra kota pun meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
Pendahuluan
Perkembangan setiap kota, sejak awal peradaban manusia hingga abad-abad terakhir, selalu diwarnai oleh pergerakan dan interaksi penduduknya dengan penduduk kota lainnya. Pergerakan dan interaksi ini dapat hanya berupa pergerakan sementara, namun dapat pula berupa perpindahan (migrasi) penduduk dari satu kota ke kota lain. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, seiring dengan berkembangnya kebutuhan dan keinginan manusia di dalam setiap peradaban. Suatu kota yang pada awalnya secara kuantitas didominasi oleh etnis tertentu, dapat menjadi kota multikultural karena banyaknya pendatang dari berbagai daerah yang menetap di kota itu. Beberapa kota di Indonesia yang dapat dijadikan contoh kota multikultural ini adalah Jakarta, Surabaya, Palembang, Samarinda, Yogyakarta, Malang, Makassar dan Balikpapan.
Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural inilah, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang. Meningkatnya jumlah pendatang seringkali tidak terprediksi sebelumnya oleh pemerintah kota yang bersangkutan. Hal ini mengakibatkan daya tampung kota yang terbatas terpaksa diperbesar dengan membuka daerah-daerah baru di sekeliling kota, yang sebenarnya merupakan daerah penyangga ekosistem kota dari bahaya banjir, peningkatan suhu dan polusi. Besarnya tekanan ekonomi akibat persaingan warga kota dengan pendatang juga kerap menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan ini diabaikan. Pusat kota kian padat dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada pun diselewengkan menjadi tempat transaksi jual-beli dilakukan. Tingginya laju pertumbuhan penduduk pada berbagai kawasan menyebabkan munculnya masalah umum yang menyertai pertumbuhan perkotaan yang amat cepat, seperti pengangguran, perumahan yang tak layak huni, kebakaran, menularnya penyakit, sanitasi yang buruk, drainase yang tersumbat, pencemaran air dan udara, sampah yang menumpuk, kerusakan lingkungan, sistem transportasi yang tidak manusiawi, dan sebagainya (Dyayadi, 2008).
Di balik fenomena-fenomena fisik yang dipaparkan di atas, ternyata terdapat pula banyak faktor nonfisik, di antaranya faktor psikologis, yang menyebabkan permasalahan lingkungan hidup di kota multikultural kian kompleks. Permasalahan yang tidak kasat mata, seperti kurangnya rasa memiliki oleh warga pendatang akan kota yang mereka tinggali, merupakan salah satu faktor utama bertambah parahnya permasalahan lingkungan hidup ini. Asas untung-rugi ekonomi yang sering dijadikan pertimbangan seseorang untuk menetap di suatu daerah menjadikan tidak terciptanya ikatan emosional mereka dengan kota itu, dibandingkan dengan ikatan emosional mereka dengan kota asal atau kota kelahiran mereka.
Lebih jauh, kesalahan dalam penanganan masalah-masalah nonfisik ini dapat meniadakan hubungan emosional antara para penduduk pendatang dengan kota yang mereka tinggali. Penanganan yang refresif seringkali tidak menghasilkan perbaikan pada tataran pemikiran. Kecenderungan manusia untuk bertindak defensif ketika diperlakukan secara represif telah banyak diperlihatkan di berbagai belahan dunia. Dyayadi dalam bukunya, “Tata Kota menurut Islam”, menyatakan pula bahwa upaya mengatasi urbanisasi dengan pendekatan konvensional hanya melahirkan kegagalan, karena birokrasi tidak mampu memahami kebutuhan, motif dan ketegaran kaum migran (Dyayadi, 2008). Pada akhirnya, perbaikan pada tataran fisik pun tidak dapat bertahan lama, karena tidak dibarengi perbaikan pada tataran pemikiran dan cara pandang.
Secara keseluruhan, seluruh permasalahan lingkungan hidup di atas akan berkaitan pula dengan citra kota yang bersangkutan, baik citra internal maupun citra eksternal. Secara internal, tidak ditemui keharmonisan dalam kehidupan penduduk di dalamnya, karena tidak adanya keterikatan emosional yang baik antara mereka dengan kota yang mereka tinggali. Kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya sederhana namun sebenarnya merusak dapat diamati dari kebiasaan membuang sampah sembarangan di jalan ataupun di sungai. Secara eksternal, citra kota mengalami penurunan, baik di mata para wisatawan atau pengunjung, maupun di mata penduduk kota lain. Terdegradasinya citra kota ini pada gilirannya akan berakibat pula pada penurunan tingkat ekonomi kota yang bersangkutan. Inilah lingkaran setan yang harus diputus, agar dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan di kota multikultural.
Untuk itu, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Pertimbangan-pertimbangan psikologis ini meliputi perilaku keruangan (territoriality) dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic human needs). Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata ini justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan psikologi arsitektur dapat dijadikan salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural.
Pembahasan
Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa poin penting dalam aspek psikologis manusia yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup yang dihadapi oleh kota-kota multikultural. Dari teori-teori teritorialitas, diketahui bahwa personalisasi pada suatu teritori, walaupun teritori itu bukan hak milik secara mutlak, akan memberikan kesempatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan mereka akan citra diri dan pengakuan dari orang lain. Sementara itu, dari paparan tentang kebutuhan dasar manusia diketahui bahwa secara umum, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis berupa kebutuhan fisiologis (physiological needs), keamanan (safety), rasa memiliki (belongingness), penghargaan (esteem), dan aktualisasi-diri (self-actualization). Tiga di antaranya, yaitu rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri merupakan faktor yang sangat signifikan dalam membentuk kesadaran manusia secara persuasif.
Melalui pemahaman akan pentingnya pendekatan psikologi arsitektur ini, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah, dibandingkan bertindak sebagai pengatur dan pemaksa. Peraturan-peraturan pemerintah yang sebagian besar bersifat fisikal harus didukung pula dengan tindakan-tindakan persuasif berdasarkan pemahaman akan kondisi psikologis para penduduknya. Telah jamak terjadi di berbagai negara, tindakan-tindakan anarkis dan defensif dari penduduk sebagai buah dari tindakan-tindakan represif pemerintahnya. Buruknya hubungan antara pemerintah dengan penduduk ini pada gilirannya mengakibatkan buruknya citra kota yang bersangkutan di mata para penduduk kota itu sendiri. Pada akhirnya, setiap peraturan yang dikeluarkan hanya dituruti dalam pengawasan ketat dan keadaan terpaksa. Ketika pengawasan itu berkurang, peraturan itu pun tidak lagi dituruti oleh masyarakat, baik pendatang maupun penduduk asli kota itu.
Sebaliknya, dengan pendekatan yang persuasif, pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Pengetahuan-pengetahuan akan pentingnya teritorialitas, personalisasi dan kebutuhan psikologis berupa rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri, seperti dipaparkan di atas, semestinya merupakan bekal yang sangat berharga dalam pendekatan yang persuasif ini. Ketika para penduduk merasa cukup dihargai, didengarkan dan diberi kesempatan untuk turut memperbaiki kota yang mereka tinggali, maka rasa memiliki itu akan muncul dengan sendirinya dan kesadaran untuk memelihara dan menjaga lingkungan kotanya akan tertanam lebih kuat di dalam diri mereka.
Salah satu contoh aplikasi konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Pemerintah dapat bertindak selaku pencetus diadakannya lomba semacam ini, sekaligus sebagai pengatur RTH yang tersedia. Masyarakat asli dan pendatang dapat berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif yang dibawa dari daerah asal mereka pada RTH yang disediakan. Tentu saja, pemerintah harus tetap melakukan pengawasan agar segi-segi positif itu tidak malah menyinggung atau merendahkan daerah lainnya.
Salah satu contoh kota yang pernah memberi kesempatan kepada paguyuban-paguyuban masyarakat pendatang untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya adalah kota Balikpapan. Kota yang didominasi oleh para pendatang ini membagi satu lokasi RTH menjadi beberapa kavling yang berdampingan sebagai area kreativitas para pendatang. Peran pemerintah ini pada gilirannya mampu mengangkat citra kota Balikpapan sesuai dengan slogannya, yaitu kota yang bersih, indah, aman dan nyaman.
Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Hal ini pada gilirannya dapat pula berimbas pada kondusifnya situasi keamanan di kota multikultural itu. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan kondusifnya kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial ini, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
Di balik semua itu, tentu pada konsep dan pendekatan ini terdapat kekurangan-kekurangan yang harus pula dipaparkan. Namun demikian, pemaparan kekurangan-kekurangan dari konsep dan pendekatan ini diharapkan dapat memacu lahirnya konsep-konsep dan pendekatan-pendekatan yang jauh lebih baik di kemudian hari. Selain itu, kekurangan-kekurangan itu diyakini bukan tanpa jalan keluar. Pemaparan ini dimaksudkan pula sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar dari kekurangan-kekurangan itu sendiri.
Kekurangan pertama adalah kemungkinan berlebihnya keinginan dari masing-masing penduduk pendatang untuk menonjolkan kelebihan dirinya sendiri. Hal ini dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara para penduduk pendatang itu. Walaupun begitu, adanya pendampingan yang intensif dari pemerintah dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan semacam itu.
Kekurangan kedua adalah adanya kemungkinan berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung diadakannya lomba taman ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk dapat mendorong kreativitas mereka dalam kondisi yang terbatas itu dapat berimbas pada makin inferiornya mereka terhadap kelompok masyarakat pendatang lainnya. Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat mendorong kreativitas itu dengan motivasi-motivasi yang tepat, serta dapat pula memberikan bantuan dana kepada setiap paguyuban peserta lomba.
Ketiga, adanya kemungkinan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba. Hal ini, salah satunya dapat diatasi dengan pengalihan pemeliharaan kepada instansi terkait yang memang bertanggung jawab dalam pemeliharaan taman dan ruang terbuka hijau di kota itu.
Selain salah satu contoh penerapan pengetahuan psikologi arsitektur di atas, tentu masih banyak lagi alternatif perancangan RTH dengan pendekatan ini. Hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing pemerintah kota, sesuai dengan karakteristik dan potensi yang ada di masing-masing wilayah.
Penutup
Dari paparan panjang di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai aplikasi pendekatan psikologi arsitektur dalam konsep perancangan ruang terbuka hijau (RTH), khususnya pada kota-kota multikultural, sebagai berikut:
1. Pentingnya pengetahuan dan pemahaman akan adanya aspek-aspek psikologis yang turut menentukan keberhasilan penanganan masalah kependudukan dan lingkungan hidup di kota-kota multikultural.
2. Aspek-aspek psikologis yang mempengaruhi itu antara lain adalah teritorialitas, personalisasi, kebutuhan akan rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri.
3. Pendekatan psikologi arsitektur berdasarkan aspek-aspek psikologis di atas terutama ditekankan pada peran pemerintah sebagai pendorong dan pengarah kepada partisipasi masyarakat pendatang dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup dan kependudukan di kota yang bersangkutan.
4. Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali.
5. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
6. Kekurangan dari konsep ini adalah adanya kemungkinan-kemungkinan persaingan yang tidak sehat akibat keinginan yang berlebih untuk menonjolkan diri, berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung, dan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba.
7. Pengembangan dari pendekatan psikologi arsitektur dalam perancangan RTH di masing-masing kota multikultural dapat dilakukan oleh pemerintah kota berdasarkan karakteristik dan potensi masing-masing wilayah.
Referensi
Dyayadi. 2008. Tata Kota menurut Islam: Konsep Pembangunan Kota yang Ramah Lingkungan, Estetik dan Berbasis Sosial. Jakarta: Khalifa
Chapman, Alan. 1995. Maslow’s Hierarchy of Needs. diakses dari http://www.businessballs.com/maslow.htm pada tanggal 5 Januari 2009
Laurens, Joyce Marcella. 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo
Lewis, Julie, Perry Walker & Catherine Unsworth (eds.). 1998. Participation Works! 21 Techniques of Community Participation for the 21st Century. London: New Economics Fondation
Stea, David. 1984. Space, Territory and Human Movements. dalam Wilson, Forrest, A Graphic Survey of Perception and Behaviour for the Design Professions. New York: Van Nostrand Reinhold
(Diformat ulang dari Makalah untuk Seminar Nasional UUPR Jurusan PWK Universitas Brawijaya Malang, 29 April 2009)
Yulia Eka Putrie & Nunik Junara
Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang dan kurangnya rasa memiliki dari masyarakat pendatang terhadap kota tersebut. Citra kota pun terdegradasi akibat kenyataan ini. Karenanya, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural. Dengan pendekatan psikologi arsitektur, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah. Pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Masyarakat pendatang berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya pada RTH yang disediakan. Seluruh penduduk pun dapat menyaksikan bahwa para pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota. Taman-taman itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Dengan demikian, citra kota pun meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
Pendahuluan
Perkembangan setiap kota, sejak awal peradaban manusia hingga abad-abad terakhir, selalu diwarnai oleh pergerakan dan interaksi penduduknya dengan penduduk kota lainnya. Pergerakan dan interaksi ini dapat hanya berupa pergerakan sementara, namun dapat pula berupa perpindahan (migrasi) penduduk dari satu kota ke kota lain. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, seiring dengan berkembangnya kebutuhan dan keinginan manusia di dalam setiap peradaban. Suatu kota yang pada awalnya secara kuantitas didominasi oleh etnis tertentu, dapat menjadi kota multikultural karena banyaknya pendatang dari berbagai daerah yang menetap di kota itu. Beberapa kota di Indonesia yang dapat dijadikan contoh kota multikultural ini adalah Jakarta, Surabaya, Palembang, Samarinda, Yogyakarta, Malang, Makassar dan Balikpapan.
Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural inilah, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang. Meningkatnya jumlah pendatang seringkali tidak terprediksi sebelumnya oleh pemerintah kota yang bersangkutan. Hal ini mengakibatkan daya tampung kota yang terbatas terpaksa diperbesar dengan membuka daerah-daerah baru di sekeliling kota, yang sebenarnya merupakan daerah penyangga ekosistem kota dari bahaya banjir, peningkatan suhu dan polusi. Besarnya tekanan ekonomi akibat persaingan warga kota dengan pendatang juga kerap menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan ini diabaikan. Pusat kota kian padat dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada pun diselewengkan menjadi tempat transaksi jual-beli dilakukan. Tingginya laju pertumbuhan penduduk pada berbagai kawasan menyebabkan munculnya masalah umum yang menyertai pertumbuhan perkotaan yang amat cepat, seperti pengangguran, perumahan yang tak layak huni, kebakaran, menularnya penyakit, sanitasi yang buruk, drainase yang tersumbat, pencemaran air dan udara, sampah yang menumpuk, kerusakan lingkungan, sistem transportasi yang tidak manusiawi, dan sebagainya (Dyayadi, 2008).
Di balik fenomena-fenomena fisik yang dipaparkan di atas, ternyata terdapat pula banyak faktor nonfisik, di antaranya faktor psikologis, yang menyebabkan permasalahan lingkungan hidup di kota multikultural kian kompleks. Permasalahan yang tidak kasat mata, seperti kurangnya rasa memiliki oleh warga pendatang akan kota yang mereka tinggali, merupakan salah satu faktor utama bertambah parahnya permasalahan lingkungan hidup ini. Asas untung-rugi ekonomi yang sering dijadikan pertimbangan seseorang untuk menetap di suatu daerah menjadikan tidak terciptanya ikatan emosional mereka dengan kota itu, dibandingkan dengan ikatan emosional mereka dengan kota asal atau kota kelahiran mereka.
Lebih jauh, kesalahan dalam penanganan masalah-masalah nonfisik ini dapat meniadakan hubungan emosional antara para penduduk pendatang dengan kota yang mereka tinggali. Penanganan yang refresif seringkali tidak menghasilkan perbaikan pada tataran pemikiran. Kecenderungan manusia untuk bertindak defensif ketika diperlakukan secara represif telah banyak diperlihatkan di berbagai belahan dunia. Dyayadi dalam bukunya, “Tata Kota menurut Islam”, menyatakan pula bahwa upaya mengatasi urbanisasi dengan pendekatan konvensional hanya melahirkan kegagalan, karena birokrasi tidak mampu memahami kebutuhan, motif dan ketegaran kaum migran (Dyayadi, 2008). Pada akhirnya, perbaikan pada tataran fisik pun tidak dapat bertahan lama, karena tidak dibarengi perbaikan pada tataran pemikiran dan cara pandang.
Secara keseluruhan, seluruh permasalahan lingkungan hidup di atas akan berkaitan pula dengan citra kota yang bersangkutan, baik citra internal maupun citra eksternal. Secara internal, tidak ditemui keharmonisan dalam kehidupan penduduk di dalamnya, karena tidak adanya keterikatan emosional yang baik antara mereka dengan kota yang mereka tinggali. Kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya sederhana namun sebenarnya merusak dapat diamati dari kebiasaan membuang sampah sembarangan di jalan ataupun di sungai. Secara eksternal, citra kota mengalami penurunan, baik di mata para wisatawan atau pengunjung, maupun di mata penduduk kota lain. Terdegradasinya citra kota ini pada gilirannya akan berakibat pula pada penurunan tingkat ekonomi kota yang bersangkutan. Inilah lingkaran setan yang harus diputus, agar dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan di kota multikultural.
Untuk itu, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Pertimbangan-pertimbangan psikologis ini meliputi perilaku keruangan (territoriality) dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic human needs). Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata ini justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan psikologi arsitektur dapat dijadikan salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural.
Pembahasan
Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa poin penting dalam aspek psikologis manusia yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup yang dihadapi oleh kota-kota multikultural. Dari teori-teori teritorialitas, diketahui bahwa personalisasi pada suatu teritori, walaupun teritori itu bukan hak milik secara mutlak, akan memberikan kesempatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan mereka akan citra diri dan pengakuan dari orang lain. Sementara itu, dari paparan tentang kebutuhan dasar manusia diketahui bahwa secara umum, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis berupa kebutuhan fisiologis (physiological needs), keamanan (safety), rasa memiliki (belongingness), penghargaan (esteem), dan aktualisasi-diri (self-actualization). Tiga di antaranya, yaitu rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri merupakan faktor yang sangat signifikan dalam membentuk kesadaran manusia secara persuasif.
Melalui pemahaman akan pentingnya pendekatan psikologi arsitektur ini, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah, dibandingkan bertindak sebagai pengatur dan pemaksa. Peraturan-peraturan pemerintah yang sebagian besar bersifat fisikal harus didukung pula dengan tindakan-tindakan persuasif berdasarkan pemahaman akan kondisi psikologis para penduduknya. Telah jamak terjadi di berbagai negara, tindakan-tindakan anarkis dan defensif dari penduduk sebagai buah dari tindakan-tindakan represif pemerintahnya. Buruknya hubungan antara pemerintah dengan penduduk ini pada gilirannya mengakibatkan buruknya citra kota yang bersangkutan di mata para penduduk kota itu sendiri. Pada akhirnya, setiap peraturan yang dikeluarkan hanya dituruti dalam pengawasan ketat dan keadaan terpaksa. Ketika pengawasan itu berkurang, peraturan itu pun tidak lagi dituruti oleh masyarakat, baik pendatang maupun penduduk asli kota itu.
Sebaliknya, dengan pendekatan yang persuasif, pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Pengetahuan-pengetahuan akan pentingnya teritorialitas, personalisasi dan kebutuhan psikologis berupa rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri, seperti dipaparkan di atas, semestinya merupakan bekal yang sangat berharga dalam pendekatan yang persuasif ini. Ketika para penduduk merasa cukup dihargai, didengarkan dan diberi kesempatan untuk turut memperbaiki kota yang mereka tinggali, maka rasa memiliki itu akan muncul dengan sendirinya dan kesadaran untuk memelihara dan menjaga lingkungan kotanya akan tertanam lebih kuat di dalam diri mereka.
Salah satu contoh aplikasi konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Pemerintah dapat bertindak selaku pencetus diadakannya lomba semacam ini, sekaligus sebagai pengatur RTH yang tersedia. Masyarakat asli dan pendatang dapat berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif yang dibawa dari daerah asal mereka pada RTH yang disediakan. Tentu saja, pemerintah harus tetap melakukan pengawasan agar segi-segi positif itu tidak malah menyinggung atau merendahkan daerah lainnya.
Salah satu contoh kota yang pernah memberi kesempatan kepada paguyuban-paguyuban masyarakat pendatang untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya adalah kota Balikpapan. Kota yang didominasi oleh para pendatang ini membagi satu lokasi RTH menjadi beberapa kavling yang berdampingan sebagai area kreativitas para pendatang. Peran pemerintah ini pada gilirannya mampu mengangkat citra kota Balikpapan sesuai dengan slogannya, yaitu kota yang bersih, indah, aman dan nyaman.
Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Hal ini pada gilirannya dapat pula berimbas pada kondusifnya situasi keamanan di kota multikultural itu. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan kondusifnya kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial ini, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
Di balik semua itu, tentu pada konsep dan pendekatan ini terdapat kekurangan-kekurangan yang harus pula dipaparkan. Namun demikian, pemaparan kekurangan-kekurangan dari konsep dan pendekatan ini diharapkan dapat memacu lahirnya konsep-konsep dan pendekatan-pendekatan yang jauh lebih baik di kemudian hari. Selain itu, kekurangan-kekurangan itu diyakini bukan tanpa jalan keluar. Pemaparan ini dimaksudkan pula sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar dari kekurangan-kekurangan itu sendiri.
Kekurangan pertama adalah kemungkinan berlebihnya keinginan dari masing-masing penduduk pendatang untuk menonjolkan kelebihan dirinya sendiri. Hal ini dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara para penduduk pendatang itu. Walaupun begitu, adanya pendampingan yang intensif dari pemerintah dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan semacam itu.
Kekurangan kedua adalah adanya kemungkinan berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung diadakannya lomba taman ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk dapat mendorong kreativitas mereka dalam kondisi yang terbatas itu dapat berimbas pada makin inferiornya mereka terhadap kelompok masyarakat pendatang lainnya. Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat mendorong kreativitas itu dengan motivasi-motivasi yang tepat, serta dapat pula memberikan bantuan dana kepada setiap paguyuban peserta lomba.
Ketiga, adanya kemungkinan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba. Hal ini, salah satunya dapat diatasi dengan pengalihan pemeliharaan kepada instansi terkait yang memang bertanggung jawab dalam pemeliharaan taman dan ruang terbuka hijau di kota itu.
Selain salah satu contoh penerapan pengetahuan psikologi arsitektur di atas, tentu masih banyak lagi alternatif perancangan RTH dengan pendekatan ini. Hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing pemerintah kota, sesuai dengan karakteristik dan potensi yang ada di masing-masing wilayah.
Penutup
Dari paparan panjang di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai aplikasi pendekatan psikologi arsitektur dalam konsep perancangan ruang terbuka hijau (RTH), khususnya pada kota-kota multikultural, sebagai berikut:
1. Pentingnya pengetahuan dan pemahaman akan adanya aspek-aspek psikologis yang turut menentukan keberhasilan penanganan masalah kependudukan dan lingkungan hidup di kota-kota multikultural.
2. Aspek-aspek psikologis yang mempengaruhi itu antara lain adalah teritorialitas, personalisasi, kebutuhan akan rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri.
3. Pendekatan psikologi arsitektur berdasarkan aspek-aspek psikologis di atas terutama ditekankan pada peran pemerintah sebagai pendorong dan pengarah kepada partisipasi masyarakat pendatang dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup dan kependudukan di kota yang bersangkutan.
4. Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali.
5. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
6. Kekurangan dari konsep ini adalah adanya kemungkinan-kemungkinan persaingan yang tidak sehat akibat keinginan yang berlebih untuk menonjolkan diri, berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung, dan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba.
7. Pengembangan dari pendekatan psikologi arsitektur dalam perancangan RTH di masing-masing kota multikultural dapat dilakukan oleh pemerintah kota berdasarkan karakteristik dan potensi masing-masing wilayah.
Referensi
Dyayadi. 2008. Tata Kota menurut Islam: Konsep Pembangunan Kota yang Ramah Lingkungan, Estetik dan Berbasis Sosial. Jakarta: Khalifa
Chapman, Alan. 1995. Maslow’s Hierarchy of Needs. diakses dari http://www.businessballs.com/maslow.htm pada tanggal 5 Januari 2009
Laurens, Joyce Marcella. 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo
Lewis, Julie, Perry Walker & Catherine Unsworth (eds.). 1998. Participation Works! 21 Techniques of Community Participation for the 21st Century. London: New Economics Fondation
Stea, David. 1984. Space, Territory and Human Movements. dalam Wilson, Forrest, A Graphic Survey of Perception and Behaviour for the Design Professions. New York: Van Nostrand Reinhold
Langganan:
Postingan (Atom)