Jumat, 05 November 2010
Reality Show Renovasi Rumah Tinggal dan Budaya Berhuni Masyarakat Kurang Mampu
Reality Show Renovasi Rumah Tinggal dan Budaya Berhuni Masyarakat Kurang Mampu
(Diformat ulang dari presentasi panel dan makalah untuk Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP)1 Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM, 16 Januari 2010)
Yulia Eka Putrie & Luluk Maslucha
Salah satu acara reality show di televisi yang dikenal masyarakat saat ini adalah acara renovasi rumah tinggal bagi masyarakat kurang mampu. Terdapat cukup banyak dampak positif dari acara-acara semacam itu bagi masyarakat penerima bantuan dan para pemirsa televisi pada umumnya. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa dampak negatif yang muncul akibat acara-acara itu terhadap masyarakat kurang mampu, baik penghuni rumah yang bersangkutan maupun anggota masyarakat lain yang menontonnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif yang merupakan penelitian awal bagi Evaluasi Purna Huni yang akan dilakukan setelahnya. Aspek-aspek yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari aspek fisik dan aspek non-fisik dari hunian-hunian yang telah mengalami renovasi. Terdapat beberapa temuan dalam penelitian ini, yaitu (1) terdapat beberapa aspek kualitas fisik bangunan dan ruang-ruang di dalam hunian yang kurang memadai untuk kehidupan berhuni, (2) terdapat keseragaman dan kemonotonan rancangan fisik bangunan pada sebagian besar hunian hasil renovasi tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya berhuni, latar belakang, dan karakteristik masing-masing penghuni, (3) terdapat indikasi upaya pengubahan yang signifikan pada arsitektur hunian tanpa pertimbangan tentang kekhasan budaya berhuni pemilik masing-masing hunian, dan (4) terdapat indikasi upaya untuk mengarahkan para penghuni untuk mengikuti standar berkehidupan dan berhuni tertentu yang dianggap lebih layak.
Pendahuluan
Peran televisi sebagai media yang membawa pengaruh kepada masyarakat, baik positif maupun negatif, sudah tidak diragukan lagi. Berbagai acara yang disuguhkan di dalamnya telah membawa perubahan yang signifikan bagi berbagai sendi kehidupan masyarakat. Pengaruh positif yang dapat diamati, salah satunya adalah cepat dan luasnya penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan. Televisi memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk dapat mengakses berbagai informasi terbaru di berbagai wilayah. Sementara itu, pengaruh negatif dari keberadaan televisi juga dapat diamati dari adanya kecenderungan sebagian masyarakat untuk mengikuti tren gaya hidup yang ditayangkan melalui sinetron, infotainmen, film televisi, dan sebagainya. Tidak hanya itu, kecenderungan melakukan tindakan kekerasan dan kecurangan yang dipertontonkan di dalam acara-acara itu juga membawa pengaruh yang buruk terhadap pemirsa televisi. Televisi juga telah memberikan pengaruh kepada perilaku dan kebiasaan masyarakat, karena menonton televisi telah menjadi ritual harian dari masyarakat saat ini. Dalam pernyataannya, E. Biser (Tondowidjojo, 1999) mengatakan bahwa pada umumnya high-tech bertujuan untuk mengubah utopi-utopi ke dalam realita, sebaliknya televisi justru mengubah realitas sehari-hari menjadi utopi-utopi. Isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial. Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media massa inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari media massa akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial itu. Oleh karena itu, media massa sebenarnya selalu dituntut untuk menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Walaupun demikian, kenyataan yang seringkali ditemui saat ini adalah apa yang dianggap berkualitas oleh acara-acara televisi, secara serentak akan dianggap berkualitas pula oleh sebagian besar masyarakat. Berbagai acara sinetron, film televisi, dan infotainmen juga selalu dikemas untuk meyakinkan masyarakat akan gaya hidup yang dianggap paling berkualitas, layak, dan membahagiakan untuk dijalani.
Selain sinetron dan infotainmen, program yang sedang marak diusung oleh berbagai stasiun televisi saat ini adalah reality show. Walaupun telah mendapatkan banyak kecaman dari berbagai pihak, sebagian acara reality show tetap mendapatkan tempatnya di sebagian besar stasiun televisi. Keberadaan berbagai acara reality show ini memang tidak terlepas dari berbagai pengaruh positif dan negatif yang diberikannya kepada masyarakat. Pengaruh positif yang diberikan kepada masyarakat, di antaranya adalah dapat memberikan gambaran mengenai realitas baik dan buruk yang terjadi di masyarakat. Beberapa acara reality show juga relatif lebih sederhana, mudah dimengerti, jujur kepada para pemirsanya, dan cukup membantu masyarakat. Sementara itu, beberapa pengaruh negatif yang dapat diamati dari keberadaan sebagian reality show itu, di antaranya adalah adanya indikasi kebohongan-kebohongan yang tampak jelas di mata pemirsa, adanya adegan-adegan yang mengarah kepada kekerasan dan caci maki, adanya privasi orang lain yang dilanggar, dan sebagainya. Selain itu, sebagian acara reality show juga memberikan pengaruh terhadap cara pandang masyarakat akan gaya hidup, kebahagiaan, dan kemewahan.
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu bentuk kritik terhadap acara-acara reality show yang berkaitan erat dengan bidang arsitektur. Di dalam acara-acara reality show itu, ditampilkan sebuah keluarga kurang mampu dengan rumah yang ‘kurang layak’ dalam pandangan acara ini. Keluarga kurang mampu itu lalu dibawa menginap di sebuah hotel, sementara rumah mereka direnovasi atau dibangun kembali. Di akhir acara, ditampilkan pula keadaan keluarga kurang mampu itu yang sangat terkejut dan bahagia melihat kondisi rumah mereka yang tampak jauh lebih indah dan baik daripada sebelum mereka tinggalkan.
Terdapat cukup banyak dampak positif di balik keberadaan acara-acara semacam itu bagi masyarakat yang memperoleh bantuan dan bagi para pemirsa televisi pada umumnya. Masyarakat penerima bantuan dapat memiliki rumah yang tampilan fisiknya lebih indah dan layak huni. Para pemirsa acara-acara reality show itu pun dapat digugah untuk lebih peduli kepada lingkungan masing-masing. Walaupun demikian, terdapat pula berbagai dampak negatif yang muncul akibat keberadaan acara-acara itu. Dalam aspek sosial – ekonomi, cara membantu yang keliru dapat mengakibatkan masyarakat menjadi lebih konsumtif. Salah satu contohnya adalah pemberian alat-alat elektronik pelengkap rumah tinggal yang menyebabkan penghuninya mengkonsumsi lebih banyak energi listrik yang belum tentu mampu mereka bayar. Kekeliruan ini juga dapat mengakibatkan sebagian masyarakat memilih untuk hanya menerima secara pasif bantuan yang diberikan tanpa melalui upaya-upaya tertentu yang dapat menumbuhkan perasaan berharga dan mandiri dalam diri mereka. Selain itu, terdapat pula pengaruh terhadap cara pandang masyarakat yang diarahkan untuk menganggap cara hidup yang sederhana dan apa adanya sebagai suatu kemalangan yang perlu diubah dan diarahkan ke gaya hidup nyaman dengan hotel sebagai standar kenyamanannya. Sementara itu, secara arsitektural terdapat pula beberapa indikasi dampak negatif yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
Secara umum, perancangan hunian selalu merujuk pada kebutuhan hidup paling mendasar para penghuninya. Di dalam setiap peradaban, manusia selalu membutuhkan tempat berteduh. Karenanya, membahas sebuah rumah berarti membahas kebudayaan suatu masyarakat yang terepresentasi melalui ruang yang digunakan untuk berhuni. Dari berhunilah manusia mengejawantahkan dirinya sebagai mahluk sosial dan mempunyai struktur keluarga, baik secara vertikal maupun horisontal (Kartono, 2000). Banyak sudut pandang yang dapat digunakan untuk mencermati bentuk hunian yang tercipta. Oleh karena itu, standar kualitas kehidupan berhuni dari masyarakat tidak dapat disamaratakan dalam satu persepsi yang sama. Hal ini dikarenakan setiap manusia dan setiap keluarga mempunyai kebutuhan yang berbeda. Dari acara-acara reality show di televisi itu, dapat diamati bahwa kebutuhan dan persepsi masing-masing penghuni terhadap kualitas keindahan dan kenyamanan hunian mereka seolah-olah dianggap sama rata. Padahal, setiap orang mempunyai perbedaan yang berkaitan dengan perbedaan budaya dan kebiasaan dan perilaku mereka. Sebagai sarana pengejawantahan diri manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial, sudah barang tentu setiap hunian akan berbeda pula seiring dengan perbedaan penghuninya masing-masing.
Menurut Rapoport (1969), terdapat lima aspek yang mempengaruhi bentuk sebuah hunian, yaitu (1) kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia, (2) keluarga, merupakan suatu unit kehidupan yang paling mendasar pada setiap masyarakat, (3) posisi wanita, karena wanitalah yang menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam rumah, (4) privasi, beberapa kebudayaan mempunyai derajat privasi yang berbeda satu sama lain, dan (5) hubungan sosial, setiap masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda akan melahirkan ruang untuk berinteraksi sosial yang berbeda pula. Pertimbangan kualitas visual dan estetika merupakan hal yang penting di dalam sebuah hunian, tetapi pertimbangan terhadap aspek kehidupan manusia di atas adalah prioritas yang harus dipertimbangkan dalam proses perancangan sebuah hunian. Aspek-aspek kehidupan manusia dan budaya berhuni masyarakat inilah yang tampaknya kurang diperhatikan dalam proses perancangan dan pembangunan hunian di acara-acara reality show tersebut.
Hal yang patut digarisbawahi adalah, penelitian ini sama sekali tidak bermaksud untuk mencari-cari kesalahan salah satu pihak, namun untuk memberi masukan agar acara-acara semacam ini dapat lebih tepat guna dan bermanfaat bagi masyarakat dalam jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Hasil dari penelitian ini kemudian akan digunakan sebagai dasar pijakan yang objektif bagi evaluasi purna huni yang akan dilakukan selanjutnya. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi atau bahan pertimbangan, agar bantuan renovasi rumah tinggal yang diberikan kepada masyarakat kurang mampu dapat lebih sesuai dan bermanfaat bagi kehidupan mereka dalam jangka panjang.
Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa temuan mengenai dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Pertama, terdapat beberapa aspek kualitas fisik bangunan dan ruang-ruang di dalam hunian yang kurang memadai untuk kehidupan berhuni. Kurang memadainya kualitas fisik bangunan ini dapat diamati dari penggunaan material dan struktur bangunan yang kurang sesuai terhadap iklim setempat, misalnya (1) jendela-jendela kaca mati dan dinding-dinding masif yang minim penghawaan menggantikan dinding-dinding anyaman bambu yang mampu mengalirkan penghawaan alami ke dalam ruangan, (2) teras-teras sempit dan seadanya menggantikan beranda yang luas dan teduh, (3) dapur yang sempit dan penuh perabot menggantikan dapur yang lapang dan multifungsi, (4) material dinding luar bangunan memiliki ketahanan yang sangat terbatas terhadap cuaca, (5) struktur bangunan dibangun secara instan dan hanya mampu menahan beban-beban yang ringan, (6) tritisan atap, teras dan jendela sangat minim, bahkan terkadang tidak ada, menyebabkan penurunan ketahanan material bangunan dan berkurangnya kenyamanan fisik di dalam ruang, dan (7) jika di masa depan terjadi kerusakan material atau struktur bangunan, terdapat kemungkinan para penghuni akan mengalami kesulitan untuk mengganti bagian-bagian yang rusak itu, karena material yang digunakan kurang dikenal atau mungkin tidak terjangkau oleh mereka.
Kedua, terdapat keseragaman dan kemonotonan rancangan fisik bangunan pada sebagian besar hunian hasil renovasi tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya berhuni, latar belakang dan karakteristik masing-masing penghuni. Di sebagian besar rumah hasil renovasi dapat dilihat adanya keseragaman rancangan fisik hunian yang dapat diamati dari tatanan ruang dan pengolahan fasad bangunan. Hal ini menunjukkan sangat kurangnya pertimbangan akan karakteristik yang berbeda dari masing-masing penghuni, sesuai dengan latar belakang, jenis pekerjaan, jumlah anggota keluarga, umur dan jenis kelamin masing-masing anggota keluarga, serta keinginan dan kepribadian masing-masing penghuni. Perancangan sebagian besar rumah tampaknya hanya dititikberatkan pada pertimbangan-pertimbangan estetis dan keinstanan proses pembangunannya. Pertimbangan estetis dijadikan salah satu faktor utama karena relatif mudah dan cepat ditangkap oleh pemirsa secara kasat mata. Hal ini tampak dari pengolahan fasad dan pemilihan jenis perabot yang mengisi ruang-ruang di dalam hunian yang sangat eye-catching dengan warna-warna yang mencolok. Dengan estetika bangunan yang diolah sedemikian rupa, pemirsa dapat diajak untuk dengan segera menilai keberhasilan renovasi bangunan yang bersangkutan. Sementara itu, pertimbangan keinstanan proses pembangunan juga menjadi titik berat karena tuntutan acara yang bersangkutan untuk menyelesaikan bangunan dalam jangka waktu yang sangat terbatas (sekitar satu hingga tiga hari). Bangunan harus dirancang dan dibangun sesingkat mungkin berdasarkan berbagai pertimbangan ekonomis, seperti biaya material, tukang, pembongkaran, pembangunan, kru syuting, dan penginapan sementara bagi penghuni rumah. Dengan demikian, tidak terdapat cukup waktu untuk mempertimbangkan berbagai faktor lain dan kekhasan karakteristik masing-masing penghuni dalam proses perancangan dan pembangunan hunian mereka sendiri.
Ketiga, terdapat indikasi upaya pengubahan yang signifikan pada arsitektur hunian tanpa pertimbangan tentang kekhasan budaya berhuni pemilik masing-masing hunian. Selain berakibat pada keseragaman rancangan fisik bangunan, kurangnya pertimbangan akan kekhasan karakteristik masing-masing penghuni juga berimbas pada adanya pengubahan signifikan arsitektur bangunan hunian dari bangunan yang telah ada sebelumnya. Kebiasaan hidup, jenis pekerjaan, jumlah penghuni, umur dan jenis kelamin masing-masing anggota keluarga, serta keinginan dan kepribadian masing-masing penghuni kurang dipertimbangkan dalam perancangan hunian mereka karena keterbatasan waktu dan penitikberatan rancangan kepada faktor estetika bangunan. Sebagian besar penghuni juga tidak pernah dimintai pendapat mengenai keseluruhan proses pembongkaran dan pembangunan kembali bangunan hunian mereka. Hal ini dilakukan sebab setting acara ini bertujuan untuk memberikan efek kejutan kepada para penghuni setelah rumah selesai direnovasi. Perubahan signifikan yang dapat diamati, di antaranya adalah (1) hilangnya beranda yang luas tempat penghuni menerima tamu dan kerabat, digantikan dengan teras yang sempit dan seadanya, (2) hilangnya dapur yang luas dan multifungsi (dapur dan beranda seringkali dimanfaatkan pula sebagai area makan lesehan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan mereka), digantikan dengan dapur yang sempit dan bergaya modern, dan (3) hilangnya area lesehan yang nyaman untuk menerima tamu dan makan bersama, digantikan dengan seperangkat kursi dan meja makan, serta seperangkat meja dan kursi tamu.
Pada awalnya, perubahan yang signifikan pada sebagian besar ruang di dalam hunian itu bisa jadi belum terasa mengganggu bagi para penghuni, namun lambat laun mereka akan menyadari bahwa rumah yang mereka tinggali itu kurang sesuai dengan cara hidup, pekerjaan, kebiasaan, dan budaya berhuni mereka. Salah satu contohnya adalah keluarga yang terbiasa makan bersama-sama secara lesehan tidak akan dengan mudah mengubah kebiasaan mereka itu menjadi makan di meja makan. Mereka bisa jadi malah akan menyingkirkan meja makan itu agar mereka dapat kembali makan bersama secara lesehan. Begitu pula dengan kebiasaan menerima tamu di beranda yang bersifat santai dan dapat menjaga privasi anggota keluarga lainnya, tidak akan dapat dengan mudah diubah dengan keharusan menerima tamu di ruang tamu yang luasnya terbatas dan dilengkapi sofa dan meja tamu. Hal ini dikarenakan beranda yang luas tempat mereka biasa melakukan banyak aktivitas telah ditiadakan dan digantikan dengan teras yang sempit dan tak ternaungi dari hujan dan panas. Selain itu, di rumah-rumah dengan luas yang relatif terbatas, privasi anggota keluarga dapat tetap dijaga dengan menerima tamu di area beranda. Terjaganya privasi anggota keluarga pada saat menerima tamu itu tidak lagi diperoleh di rumah-rumah hasil renovasi ini. Dengan adanya perubahan yang signifikan dari tatanan ruang hunian awal, keluarga-keluarga yang mendiami rumah-rumah hasil renovasi ini pun secara tidak langsung diarahkan untuk mengubah pula kebiasaan-kebiasaan dan karakteristik-karakteristik keluarga masing-masing. Masyarakat juga secara tidak langsung diarahkan untuk menganggap cara berhuni yang baru sebagai cara berhuni yang lebih baik dan layak dibandingkan dengan budaya berhuni yang mereka miliki sebelumnya. Mereka harus menerima pakem-pakem budaya baru yang dianggap lebih layak dan beradab oleh para pemberi bantuan seperti makan di meja makan dan bukan lesehan, menerima tamu di ruang tamu dan bukan di teras yang lapang, memasak di dapur yang simpel dan modern, dan sebagainya. Padahal, budaya berhuni mereka sebelumnya sesungguhnya tidaklah keliru atau lebih buruk daripada budaya baru yang harus mereka terima di hunian mereka. Kebiasaan makan bersama dan menerima tamu secara lesehan sebenarnya menunjukkan adanya keakraban dan kedekatan, baik antar anggota keluarga maupun antara penghuni dengan para tamu mereka. Karenanya, kebiasaan-kebiasaan dan budaya berhuni yang telah mereka jalani selama ini tidak sepantasnya diubah begitu saja tanpa meminta pertimbangan mereka, walaupun pengubahan itu dilakukan dengan tujuan yang baik.
Keempat, terdapat indikasi upaya untuk mengarahkan para penghuni untuk mengikuti standar berkehidupan dan berhuni tertentu yang dianggap lebih layak. Temuan ini merupakan kelanjutan dari temuan sebelumnya mengenai adanya upaya pengubahan budaya berhuni masyarakat penerima bantuan melalui pengubahan secara signifikan ruang-ruang yang ada di hunian mereka. Indikasi adanya upaya ini disimpulkan berdasarkan pengamatan terhadap keseluruhan proses syuting acara renovasi rumah ini, terutama pada saat masyarakat penerima bantuan tidak dimintai pertimbangan mengenai rumah mereka sendiri dan pada saat mereka dibawa menuju hotel, restoran, spa, atau salon untuk merasakan kenyamanan yang diperoleh dari gaya hidup menengah ke atas itu. Secara tidak langsung, mereka seakan diarahkan untuk mengakui bahwa kehidupan mereka sebelum ini sangat jauh dari standar kelayakan hidup. Mereka juga seakan ditunjukkan bahwa cara hidup yang demikianlah yang sebaiknya mereka jalani setelahnya di rumah mereka yang telah direnovasi. Cara pandang semacam ini cukup berbahaya karena dapat menyebabkan orang-orang yang diberi bantuan itu menjadi rendah diri, kurang mensyukuri nikmat yang ada selama ini, atau malah menjadi lebih konsumtif di kemudian hari. Secara arsitektural, cara pandang semacam ini dapat menyebabkan timbulnya keinginan untuk memiliki rumah yang megah dan mewah dengan memaksakan segenap kemampuan mereka. Karenanya, walaupun cara membantu yang demikian cukup membahagiakan pada saat-saat awal, namun tampaknya kurang tepat bagi masyarakat penerima bantuan di masa-masa selanjutnya.
Penutup
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa selain memiliki dampak-dampak yang positif, acara-acara reality show tentang proses renovasi rumah atau hunian di televisi juga memiliki beberapa dampak negatif. Walaupun demikian, acara-acara semacam ini tidaklah harus ditiadakan sama sekali. Penyelenggara acara-acara ini hanya perlu memikirkan kembali format acara renovasi rumah yang lebih tepat guna dan bermanfaat untuk jangka panjang. Penyelenggara acara juga dapat mempertimbangkan kemampuan penghuni dalam memelihara dan mengelola bangunan hunian yang akan dibangun untuk mereka, seperti kemampuan untuk memperbaiki kerusakan di masa mendatang, ketahanan bangunan terhadap iklim dan bencana, dan kemampuan penghuni untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di rumah-rumah tersebut. Selain itu, penyelenggara acara juga disarankan untuk meminta pendapat penghuni atas rancangan hunian mereka sendiri, memperhatikan kebiasaan sehari-hari masing-masing penghuni, dan mempertahankan budaya berhuni yang baik dan sesuai bagi mereka selama ini. Penyelenggara acara juga dapat membantu untuk meningkatkan produktivitas penghuni melalui penataan ruang, misalnya dengan menyediakan ruang usaha, warung kecil, atau ruang-ruang multifungsi yang fleksibel untuk melakukan pekerjaan mereka.
Dalam bidang keilmuan arsitektur, penelitian ini merupakan dasar bagi penelitian selanjutnya dengan metode Post Occupancy Evaluation (POE) untuk dapat mengetahui apakah dalam perkembangan selanjutnya terjadi perubahan perilaku penghuni akibat pengubahan signifikan hunian mereka, seperti telah dijelaskan di atas, ataukah terjadi pengubahan tatanan ruang dan aspek-aspek arsitektural lainnya sehingga lebih sesuai bagi budaya berhuni dan perilaku para penghuninya. POE juga dibutuhkan untuk mengevaluasi kualitas-kualitas fisik bangunan hunian setelah dihuni, karena pada penelitian ini ditemukan adanya perubahan kualitas fisik bangunan yang dijelaskan pada awal bagian pembahasan di atas. Perubahan kualitas fisik bangunan setelah beberapa waktu dihuni sedikit banyak juga mempengaruhi kualitas hidup penghuni di dalam rumah-rumah hasil renovasi itu.
Referensi
Rapoport A (1969) House, Form and Culture, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New York
Kartono (2000) Studi Awal Tentang Polemik Peran Wanita Pada Desain Rumah Tinggal dengan Pendekatan Genealogi. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 28, No. 2, Desember 2000: 79 – 87
Tondowidjojo, John CM (1999) Komunikasi Berbalik Menjadi Konsumsi, Warta Paragonz, Forum Komunikasi Umat
(Diformat ulang dari presentasi panel dan makalah untuk Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP)1 Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM, 16 Januari 2010)
Yulia Eka Putrie & Luluk Maslucha
Salah satu acara reality show di televisi yang dikenal masyarakat saat ini adalah acara renovasi rumah tinggal bagi masyarakat kurang mampu. Terdapat cukup banyak dampak positif dari acara-acara semacam itu bagi masyarakat penerima bantuan dan para pemirsa televisi pada umumnya. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa dampak negatif yang muncul akibat acara-acara itu terhadap masyarakat kurang mampu, baik penghuni rumah yang bersangkutan maupun anggota masyarakat lain yang menontonnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif yang merupakan penelitian awal bagi Evaluasi Purna Huni yang akan dilakukan setelahnya. Aspek-aspek yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari aspek fisik dan aspek non-fisik dari hunian-hunian yang telah mengalami renovasi. Terdapat beberapa temuan dalam penelitian ini, yaitu (1) terdapat beberapa aspek kualitas fisik bangunan dan ruang-ruang di dalam hunian yang kurang memadai untuk kehidupan berhuni, (2) terdapat keseragaman dan kemonotonan rancangan fisik bangunan pada sebagian besar hunian hasil renovasi tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya berhuni, latar belakang, dan karakteristik masing-masing penghuni, (3) terdapat indikasi upaya pengubahan yang signifikan pada arsitektur hunian tanpa pertimbangan tentang kekhasan budaya berhuni pemilik masing-masing hunian, dan (4) terdapat indikasi upaya untuk mengarahkan para penghuni untuk mengikuti standar berkehidupan dan berhuni tertentu yang dianggap lebih layak.
Pendahuluan
Peran televisi sebagai media yang membawa pengaruh kepada masyarakat, baik positif maupun negatif, sudah tidak diragukan lagi. Berbagai acara yang disuguhkan di dalamnya telah membawa perubahan yang signifikan bagi berbagai sendi kehidupan masyarakat. Pengaruh positif yang dapat diamati, salah satunya adalah cepat dan luasnya penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan. Televisi memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk dapat mengakses berbagai informasi terbaru di berbagai wilayah. Sementara itu, pengaruh negatif dari keberadaan televisi juga dapat diamati dari adanya kecenderungan sebagian masyarakat untuk mengikuti tren gaya hidup yang ditayangkan melalui sinetron, infotainmen, film televisi, dan sebagainya. Tidak hanya itu, kecenderungan melakukan tindakan kekerasan dan kecurangan yang dipertontonkan di dalam acara-acara itu juga membawa pengaruh yang buruk terhadap pemirsa televisi. Televisi juga telah memberikan pengaruh kepada perilaku dan kebiasaan masyarakat, karena menonton televisi telah menjadi ritual harian dari masyarakat saat ini. Dalam pernyataannya, E. Biser (Tondowidjojo, 1999) mengatakan bahwa pada umumnya high-tech bertujuan untuk mengubah utopi-utopi ke dalam realita, sebaliknya televisi justru mengubah realitas sehari-hari menjadi utopi-utopi. Isi media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial. Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media massa inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari media massa akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial itu. Oleh karena itu, media massa sebenarnya selalu dituntut untuk menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Walaupun demikian, kenyataan yang seringkali ditemui saat ini adalah apa yang dianggap berkualitas oleh acara-acara televisi, secara serentak akan dianggap berkualitas pula oleh sebagian besar masyarakat. Berbagai acara sinetron, film televisi, dan infotainmen juga selalu dikemas untuk meyakinkan masyarakat akan gaya hidup yang dianggap paling berkualitas, layak, dan membahagiakan untuk dijalani.
Selain sinetron dan infotainmen, program yang sedang marak diusung oleh berbagai stasiun televisi saat ini adalah reality show. Walaupun telah mendapatkan banyak kecaman dari berbagai pihak, sebagian acara reality show tetap mendapatkan tempatnya di sebagian besar stasiun televisi. Keberadaan berbagai acara reality show ini memang tidak terlepas dari berbagai pengaruh positif dan negatif yang diberikannya kepada masyarakat. Pengaruh positif yang diberikan kepada masyarakat, di antaranya adalah dapat memberikan gambaran mengenai realitas baik dan buruk yang terjadi di masyarakat. Beberapa acara reality show juga relatif lebih sederhana, mudah dimengerti, jujur kepada para pemirsanya, dan cukup membantu masyarakat. Sementara itu, beberapa pengaruh negatif yang dapat diamati dari keberadaan sebagian reality show itu, di antaranya adalah adanya indikasi kebohongan-kebohongan yang tampak jelas di mata pemirsa, adanya adegan-adegan yang mengarah kepada kekerasan dan caci maki, adanya privasi orang lain yang dilanggar, dan sebagainya. Selain itu, sebagian acara reality show juga memberikan pengaruh terhadap cara pandang masyarakat akan gaya hidup, kebahagiaan, dan kemewahan.
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu bentuk kritik terhadap acara-acara reality show yang berkaitan erat dengan bidang arsitektur. Di dalam acara-acara reality show itu, ditampilkan sebuah keluarga kurang mampu dengan rumah yang ‘kurang layak’ dalam pandangan acara ini. Keluarga kurang mampu itu lalu dibawa menginap di sebuah hotel, sementara rumah mereka direnovasi atau dibangun kembali. Di akhir acara, ditampilkan pula keadaan keluarga kurang mampu itu yang sangat terkejut dan bahagia melihat kondisi rumah mereka yang tampak jauh lebih indah dan baik daripada sebelum mereka tinggalkan.
Terdapat cukup banyak dampak positif di balik keberadaan acara-acara semacam itu bagi masyarakat yang memperoleh bantuan dan bagi para pemirsa televisi pada umumnya. Masyarakat penerima bantuan dapat memiliki rumah yang tampilan fisiknya lebih indah dan layak huni. Para pemirsa acara-acara reality show itu pun dapat digugah untuk lebih peduli kepada lingkungan masing-masing. Walaupun demikian, terdapat pula berbagai dampak negatif yang muncul akibat keberadaan acara-acara itu. Dalam aspek sosial – ekonomi, cara membantu yang keliru dapat mengakibatkan masyarakat menjadi lebih konsumtif. Salah satu contohnya adalah pemberian alat-alat elektronik pelengkap rumah tinggal yang menyebabkan penghuninya mengkonsumsi lebih banyak energi listrik yang belum tentu mampu mereka bayar. Kekeliruan ini juga dapat mengakibatkan sebagian masyarakat memilih untuk hanya menerima secara pasif bantuan yang diberikan tanpa melalui upaya-upaya tertentu yang dapat menumbuhkan perasaan berharga dan mandiri dalam diri mereka. Selain itu, terdapat pula pengaruh terhadap cara pandang masyarakat yang diarahkan untuk menganggap cara hidup yang sederhana dan apa adanya sebagai suatu kemalangan yang perlu diubah dan diarahkan ke gaya hidup nyaman dengan hotel sebagai standar kenyamanannya. Sementara itu, secara arsitektural terdapat pula beberapa indikasi dampak negatif yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
Secara umum, perancangan hunian selalu merujuk pada kebutuhan hidup paling mendasar para penghuninya. Di dalam setiap peradaban, manusia selalu membutuhkan tempat berteduh. Karenanya, membahas sebuah rumah berarti membahas kebudayaan suatu masyarakat yang terepresentasi melalui ruang yang digunakan untuk berhuni. Dari berhunilah manusia mengejawantahkan dirinya sebagai mahluk sosial dan mempunyai struktur keluarga, baik secara vertikal maupun horisontal (Kartono, 2000). Banyak sudut pandang yang dapat digunakan untuk mencermati bentuk hunian yang tercipta. Oleh karena itu, standar kualitas kehidupan berhuni dari masyarakat tidak dapat disamaratakan dalam satu persepsi yang sama. Hal ini dikarenakan setiap manusia dan setiap keluarga mempunyai kebutuhan yang berbeda. Dari acara-acara reality show di televisi itu, dapat diamati bahwa kebutuhan dan persepsi masing-masing penghuni terhadap kualitas keindahan dan kenyamanan hunian mereka seolah-olah dianggap sama rata. Padahal, setiap orang mempunyai perbedaan yang berkaitan dengan perbedaan budaya dan kebiasaan dan perilaku mereka. Sebagai sarana pengejawantahan diri manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial, sudah barang tentu setiap hunian akan berbeda pula seiring dengan perbedaan penghuninya masing-masing.
Menurut Rapoport (1969), terdapat lima aspek yang mempengaruhi bentuk sebuah hunian, yaitu (1) kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia, (2) keluarga, merupakan suatu unit kehidupan yang paling mendasar pada setiap masyarakat, (3) posisi wanita, karena wanitalah yang menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam rumah, (4) privasi, beberapa kebudayaan mempunyai derajat privasi yang berbeda satu sama lain, dan (5) hubungan sosial, setiap masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda akan melahirkan ruang untuk berinteraksi sosial yang berbeda pula. Pertimbangan kualitas visual dan estetika merupakan hal yang penting di dalam sebuah hunian, tetapi pertimbangan terhadap aspek kehidupan manusia di atas adalah prioritas yang harus dipertimbangkan dalam proses perancangan sebuah hunian. Aspek-aspek kehidupan manusia dan budaya berhuni masyarakat inilah yang tampaknya kurang diperhatikan dalam proses perancangan dan pembangunan hunian di acara-acara reality show tersebut.
Hal yang patut digarisbawahi adalah, penelitian ini sama sekali tidak bermaksud untuk mencari-cari kesalahan salah satu pihak, namun untuk memberi masukan agar acara-acara semacam ini dapat lebih tepat guna dan bermanfaat bagi masyarakat dalam jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Hasil dari penelitian ini kemudian akan digunakan sebagai dasar pijakan yang objektif bagi evaluasi purna huni yang akan dilakukan selanjutnya. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi atau bahan pertimbangan, agar bantuan renovasi rumah tinggal yang diberikan kepada masyarakat kurang mampu dapat lebih sesuai dan bermanfaat bagi kehidupan mereka dalam jangka panjang.
Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa temuan mengenai dampak-dampak negatif dari hasil renovasi hunian terhadap masyarakat kurang mampu yang menerima bantuan, terutama dalam aspek-aspek fisik hunian dan budaya berhuni mereka. Pertama, terdapat beberapa aspek kualitas fisik bangunan dan ruang-ruang di dalam hunian yang kurang memadai untuk kehidupan berhuni. Kurang memadainya kualitas fisik bangunan ini dapat diamati dari penggunaan material dan struktur bangunan yang kurang sesuai terhadap iklim setempat, misalnya (1) jendela-jendela kaca mati dan dinding-dinding masif yang minim penghawaan menggantikan dinding-dinding anyaman bambu yang mampu mengalirkan penghawaan alami ke dalam ruangan, (2) teras-teras sempit dan seadanya menggantikan beranda yang luas dan teduh, (3) dapur yang sempit dan penuh perabot menggantikan dapur yang lapang dan multifungsi, (4) material dinding luar bangunan memiliki ketahanan yang sangat terbatas terhadap cuaca, (5) struktur bangunan dibangun secara instan dan hanya mampu menahan beban-beban yang ringan, (6) tritisan atap, teras dan jendela sangat minim, bahkan terkadang tidak ada, menyebabkan penurunan ketahanan material bangunan dan berkurangnya kenyamanan fisik di dalam ruang, dan (7) jika di masa depan terjadi kerusakan material atau struktur bangunan, terdapat kemungkinan para penghuni akan mengalami kesulitan untuk mengganti bagian-bagian yang rusak itu, karena material yang digunakan kurang dikenal atau mungkin tidak terjangkau oleh mereka.
Kedua, terdapat keseragaman dan kemonotonan rancangan fisik bangunan pada sebagian besar hunian hasil renovasi tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya berhuni, latar belakang dan karakteristik masing-masing penghuni. Di sebagian besar rumah hasil renovasi dapat dilihat adanya keseragaman rancangan fisik hunian yang dapat diamati dari tatanan ruang dan pengolahan fasad bangunan. Hal ini menunjukkan sangat kurangnya pertimbangan akan karakteristik yang berbeda dari masing-masing penghuni, sesuai dengan latar belakang, jenis pekerjaan, jumlah anggota keluarga, umur dan jenis kelamin masing-masing anggota keluarga, serta keinginan dan kepribadian masing-masing penghuni. Perancangan sebagian besar rumah tampaknya hanya dititikberatkan pada pertimbangan-pertimbangan estetis dan keinstanan proses pembangunannya. Pertimbangan estetis dijadikan salah satu faktor utama karena relatif mudah dan cepat ditangkap oleh pemirsa secara kasat mata. Hal ini tampak dari pengolahan fasad dan pemilihan jenis perabot yang mengisi ruang-ruang di dalam hunian yang sangat eye-catching dengan warna-warna yang mencolok. Dengan estetika bangunan yang diolah sedemikian rupa, pemirsa dapat diajak untuk dengan segera menilai keberhasilan renovasi bangunan yang bersangkutan. Sementara itu, pertimbangan keinstanan proses pembangunan juga menjadi titik berat karena tuntutan acara yang bersangkutan untuk menyelesaikan bangunan dalam jangka waktu yang sangat terbatas (sekitar satu hingga tiga hari). Bangunan harus dirancang dan dibangun sesingkat mungkin berdasarkan berbagai pertimbangan ekonomis, seperti biaya material, tukang, pembongkaran, pembangunan, kru syuting, dan penginapan sementara bagi penghuni rumah. Dengan demikian, tidak terdapat cukup waktu untuk mempertimbangkan berbagai faktor lain dan kekhasan karakteristik masing-masing penghuni dalam proses perancangan dan pembangunan hunian mereka sendiri.
Ketiga, terdapat indikasi upaya pengubahan yang signifikan pada arsitektur hunian tanpa pertimbangan tentang kekhasan budaya berhuni pemilik masing-masing hunian. Selain berakibat pada keseragaman rancangan fisik bangunan, kurangnya pertimbangan akan kekhasan karakteristik masing-masing penghuni juga berimbas pada adanya pengubahan signifikan arsitektur bangunan hunian dari bangunan yang telah ada sebelumnya. Kebiasaan hidup, jenis pekerjaan, jumlah penghuni, umur dan jenis kelamin masing-masing anggota keluarga, serta keinginan dan kepribadian masing-masing penghuni kurang dipertimbangkan dalam perancangan hunian mereka karena keterbatasan waktu dan penitikberatan rancangan kepada faktor estetika bangunan. Sebagian besar penghuni juga tidak pernah dimintai pendapat mengenai keseluruhan proses pembongkaran dan pembangunan kembali bangunan hunian mereka. Hal ini dilakukan sebab setting acara ini bertujuan untuk memberikan efek kejutan kepada para penghuni setelah rumah selesai direnovasi. Perubahan signifikan yang dapat diamati, di antaranya adalah (1) hilangnya beranda yang luas tempat penghuni menerima tamu dan kerabat, digantikan dengan teras yang sempit dan seadanya, (2) hilangnya dapur yang luas dan multifungsi (dapur dan beranda seringkali dimanfaatkan pula sebagai area makan lesehan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan mereka), digantikan dengan dapur yang sempit dan bergaya modern, dan (3) hilangnya area lesehan yang nyaman untuk menerima tamu dan makan bersama, digantikan dengan seperangkat kursi dan meja makan, serta seperangkat meja dan kursi tamu.
Pada awalnya, perubahan yang signifikan pada sebagian besar ruang di dalam hunian itu bisa jadi belum terasa mengganggu bagi para penghuni, namun lambat laun mereka akan menyadari bahwa rumah yang mereka tinggali itu kurang sesuai dengan cara hidup, pekerjaan, kebiasaan, dan budaya berhuni mereka. Salah satu contohnya adalah keluarga yang terbiasa makan bersama-sama secara lesehan tidak akan dengan mudah mengubah kebiasaan mereka itu menjadi makan di meja makan. Mereka bisa jadi malah akan menyingkirkan meja makan itu agar mereka dapat kembali makan bersama secara lesehan. Begitu pula dengan kebiasaan menerima tamu di beranda yang bersifat santai dan dapat menjaga privasi anggota keluarga lainnya, tidak akan dapat dengan mudah diubah dengan keharusan menerima tamu di ruang tamu yang luasnya terbatas dan dilengkapi sofa dan meja tamu. Hal ini dikarenakan beranda yang luas tempat mereka biasa melakukan banyak aktivitas telah ditiadakan dan digantikan dengan teras yang sempit dan tak ternaungi dari hujan dan panas. Selain itu, di rumah-rumah dengan luas yang relatif terbatas, privasi anggota keluarga dapat tetap dijaga dengan menerima tamu di area beranda. Terjaganya privasi anggota keluarga pada saat menerima tamu itu tidak lagi diperoleh di rumah-rumah hasil renovasi ini. Dengan adanya perubahan yang signifikan dari tatanan ruang hunian awal, keluarga-keluarga yang mendiami rumah-rumah hasil renovasi ini pun secara tidak langsung diarahkan untuk mengubah pula kebiasaan-kebiasaan dan karakteristik-karakteristik keluarga masing-masing. Masyarakat juga secara tidak langsung diarahkan untuk menganggap cara berhuni yang baru sebagai cara berhuni yang lebih baik dan layak dibandingkan dengan budaya berhuni yang mereka miliki sebelumnya. Mereka harus menerima pakem-pakem budaya baru yang dianggap lebih layak dan beradab oleh para pemberi bantuan seperti makan di meja makan dan bukan lesehan, menerima tamu di ruang tamu dan bukan di teras yang lapang, memasak di dapur yang simpel dan modern, dan sebagainya. Padahal, budaya berhuni mereka sebelumnya sesungguhnya tidaklah keliru atau lebih buruk daripada budaya baru yang harus mereka terima di hunian mereka. Kebiasaan makan bersama dan menerima tamu secara lesehan sebenarnya menunjukkan adanya keakraban dan kedekatan, baik antar anggota keluarga maupun antara penghuni dengan para tamu mereka. Karenanya, kebiasaan-kebiasaan dan budaya berhuni yang telah mereka jalani selama ini tidak sepantasnya diubah begitu saja tanpa meminta pertimbangan mereka, walaupun pengubahan itu dilakukan dengan tujuan yang baik.
Keempat, terdapat indikasi upaya untuk mengarahkan para penghuni untuk mengikuti standar berkehidupan dan berhuni tertentu yang dianggap lebih layak. Temuan ini merupakan kelanjutan dari temuan sebelumnya mengenai adanya upaya pengubahan budaya berhuni masyarakat penerima bantuan melalui pengubahan secara signifikan ruang-ruang yang ada di hunian mereka. Indikasi adanya upaya ini disimpulkan berdasarkan pengamatan terhadap keseluruhan proses syuting acara renovasi rumah ini, terutama pada saat masyarakat penerima bantuan tidak dimintai pertimbangan mengenai rumah mereka sendiri dan pada saat mereka dibawa menuju hotel, restoran, spa, atau salon untuk merasakan kenyamanan yang diperoleh dari gaya hidup menengah ke atas itu. Secara tidak langsung, mereka seakan diarahkan untuk mengakui bahwa kehidupan mereka sebelum ini sangat jauh dari standar kelayakan hidup. Mereka juga seakan ditunjukkan bahwa cara hidup yang demikianlah yang sebaiknya mereka jalani setelahnya di rumah mereka yang telah direnovasi. Cara pandang semacam ini cukup berbahaya karena dapat menyebabkan orang-orang yang diberi bantuan itu menjadi rendah diri, kurang mensyukuri nikmat yang ada selama ini, atau malah menjadi lebih konsumtif di kemudian hari. Secara arsitektural, cara pandang semacam ini dapat menyebabkan timbulnya keinginan untuk memiliki rumah yang megah dan mewah dengan memaksakan segenap kemampuan mereka. Karenanya, walaupun cara membantu yang demikian cukup membahagiakan pada saat-saat awal, namun tampaknya kurang tepat bagi masyarakat penerima bantuan di masa-masa selanjutnya.
Penutup
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa selain memiliki dampak-dampak yang positif, acara-acara reality show tentang proses renovasi rumah atau hunian di televisi juga memiliki beberapa dampak negatif. Walaupun demikian, acara-acara semacam ini tidaklah harus ditiadakan sama sekali. Penyelenggara acara-acara ini hanya perlu memikirkan kembali format acara renovasi rumah yang lebih tepat guna dan bermanfaat untuk jangka panjang. Penyelenggara acara juga dapat mempertimbangkan kemampuan penghuni dalam memelihara dan mengelola bangunan hunian yang akan dibangun untuk mereka, seperti kemampuan untuk memperbaiki kerusakan di masa mendatang, ketahanan bangunan terhadap iklim dan bencana, dan kemampuan penghuni untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di rumah-rumah tersebut. Selain itu, penyelenggara acara juga disarankan untuk meminta pendapat penghuni atas rancangan hunian mereka sendiri, memperhatikan kebiasaan sehari-hari masing-masing penghuni, dan mempertahankan budaya berhuni yang baik dan sesuai bagi mereka selama ini. Penyelenggara acara juga dapat membantu untuk meningkatkan produktivitas penghuni melalui penataan ruang, misalnya dengan menyediakan ruang usaha, warung kecil, atau ruang-ruang multifungsi yang fleksibel untuk melakukan pekerjaan mereka.
Dalam bidang keilmuan arsitektur, penelitian ini merupakan dasar bagi penelitian selanjutnya dengan metode Post Occupancy Evaluation (POE) untuk dapat mengetahui apakah dalam perkembangan selanjutnya terjadi perubahan perilaku penghuni akibat pengubahan signifikan hunian mereka, seperti telah dijelaskan di atas, ataukah terjadi pengubahan tatanan ruang dan aspek-aspek arsitektural lainnya sehingga lebih sesuai bagi budaya berhuni dan perilaku para penghuninya. POE juga dibutuhkan untuk mengevaluasi kualitas-kualitas fisik bangunan hunian setelah dihuni, karena pada penelitian ini ditemukan adanya perubahan kualitas fisik bangunan yang dijelaskan pada awal bagian pembahasan di atas. Perubahan kualitas fisik bangunan setelah beberapa waktu dihuni sedikit banyak juga mempengaruhi kualitas hidup penghuni di dalam rumah-rumah hasil renovasi itu.
Referensi
Rapoport A (1969) House, Form and Culture, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New York
Kartono (2000) Studi Awal Tentang Polemik Peran Wanita Pada Desain Rumah Tinggal dengan Pendekatan Genealogi. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 28, No. 2, Desember 2000: 79 – 87
Tondowidjojo, John CM (1999) Komunikasi Berbalik Menjadi Konsumsi, Warta Paragonz, Forum Komunikasi Umat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar